Wednesday, May 25, 2011

YANG MAKRUH DALAM SHALAT

Menoleh (Al-Iltifat) tanpa keperluan tertentu dalam shalat, adalah makruh, berdasarkan hadits ‘Aisyah R.A: Aku bertanya Kepada Rasulullah SAW, tentang menoleh dalam shalat. Beliau bersabda:

IKHTILASU YAKHTALISUHU SYAITANU MIN SHALATIL ‘ABDI
“ITU ADALAH PENCURIAN YANG DILAKUKAN SETAN TERHADAP SHALAT SESEORANG” (H.R Bukhari No. 718)

Ibnu Qayyim mengatakan “menoleh yang dilarang didalam shalat ada dua macam, Pertama: menolehnya hati dari Allah SWT, kepada selainNya. Kedua: Menolehnya mata, Keduanya dilarang. Allah SWT akan terus memperhatikan hambaNya yang sedang mengerjakan shalat selama hamba tetap menghadap kepadaNya. Jika hati atau mata orang itu menoleh, maka Allah SWT berpaling darinya.
Jika yang shalat memutar seluruh badannya atau tidak lagi menghadap kiblat, tanpa disebabkan ketakutan yang sangat hebat, maka shalatnya batal.
Untuk Kesempurnaan lahiriyah shalat, Syara’ melarang para mushalli mengerjakan beberapa pekerjaan dan menyuruh kita menjauhkan diri dari padanya

Mencotok-cotokkan Rukuk dan Sujud:

ASWA UNNA SI SARI QATALLADZIY YASRI QU MIN SHALA TIHI. QOLA: KAYFA YASRIQU MINASHSHALA? QALA: LA YUTIMMU RUKU ‘AHA WA LA SUJUU DAHA. AWQALA: LA YUQIYMU SHULBAHU FIRRIKU’I WASSUJUDI
Artinya: “Sejahat-jahatnya pencuri adalah orang yang mencuri dalam shalatnya", bertanya sahabat: “Bagaimana ia mencuri dalam shalatnya?" menjawab Nabi SAW: "(Ia) tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya” atau Nabi Menjawab: “Ia tiada menegakkan sulbinya didalam ruku’nya dan sujudnya”. (H.R Ahamad dan Ath Thabarany dari Abu Qatadah, At Targhib 1:199)

Berpaling kekanan, kekiri dalam shalat dan melihat keats. Bersabda nabi SAW:

LA YA DZULULLAHU MUQBILAN ‘ALAL ‘ABDI FISHALATIHI MALAM YALTAFIT FA IDZA SHARAFA WAJHAHU INSHARAFA ‘ANHU
Artinya: “Allah SWT senantiasa berhadap kepada para hambaNya, dalam shalatnya, selama hamba itu tiada berpaling-paling. Apabila hamba itu memalingkkan mukanya, berpalinglah Allah SWT dari padanya.” (H.R Ahmad dan abu Daud dari abu Dzar, At Targhieb 1:333

Di beritakan bahwa Rasulullah SAW melihat seorang lelaki mempermain-mainkan tangan sedang bershalat, maka Rasulullah SAW bersabda:

LAW KHASYA’A QALBU HADZARRAJULI LAKHASYA’AT JAWARIHUHU
Artinya: “Sekiranya Khusyuk jiwa orang ini, tentulah Khusyuk segala anggota-anggotanya.” (H.R Al-hakim, At-Tharmudzi, dari Abu Hurairah, Syarah Ihya’ 3: 153)

Menahan Buang air besar atau kecil dalam shalat.

SAMI’TU RASULULLAHI SAW WAQU LU: LA SHALATA BIHADHRATITTA’AMI WALA WAHUWA YUDA FI’UHUL AKHBATSANI
Artinya: “Saya dengar Rasulullah SAW bersabda: Tak ada shalat dihadapan makanan dan tak ada shalat dikala sedang dipengaruhi oleh desakan buang air besar atau air kecil” (H.R Muslim, dari Aisyah R.A bulughul Maram, 49)

Menyedekap tangan diantara kedua pangkal paha, makruh hukumnya. Dalilnya adalah sebuh hadits Abu Hurairah R.A:
ANNA NABIYA SAW NAHA ‘ANIL KHASHRI FISHSHALATI
NABI SAW MELARANG MENYEDEKAPKAN TANGAN DIATAS PANGKAL PAHA KETIKA SHALAT (H.R Ahmad, 2/399)

di dalam shalat, dilarang kita bermain-main dengan jenggot, baju atau selainnya. Karena hal itu menyibukkan hati dan memalingkan dari kekhusyukan yang merupakan intisari shalat. Sa’id al-Musayyab melihat seserang shalat dengan bermain-main, lalu dia berkata:

LAW KHASYA’A QALBU HADZA LAKHASYA’AT JAWARIHUH
“JIKA HATI ORANG ITU KHUSYUK, MAKA ANGGOTA TUBUHNYA PASTI TENANG” (Sunan al-Baihaqi al-Kubra, No. 3365)

Shalat tidak batal dikarenakan perbuatan hati, walaupun lama, karena hal ini sering terjadi dan sulit dicagah. Nabi SAW menuturkan bahwa setan melintas diantara seseorang dengan jiwanya. Lalu membisikan: ingat ini, ingat ini… (Muttafaq’alaih No. 583 dan No. 389). Nabi SAW tidak memerintahkan mengulang shalat, tapi berusaha menepis dan melawan bisikan setan itu.

Para ulama sepakat bahwa menyengaja memikir masalah-masalah duniawi didalam shalt, hukumnya haram. Sebagai contoh, banyak orang yang bila kelupaan atau kehilangan sesuatu, maka dia menyegaja mengerjakan shalat dengan tujuan mengingat-ingatnya. Jika seseorang teringat pada sesuatu yang dilupakan atau terlupakan ketika mengerjakan shalat yang ditetapkan syariat, maka setanlah yang membuatnya ingat, untuk memalingkannya dari shalat tersebut.

Utsman bin Abi al-‘Ash merasa sulit khusyuk karena berbagai hal melintas dipikirannya, lalu dia mengadukan hal itu kepada Nabi SAW. Dia berkata “Wahai Rasulullah, setan telah menghalangiku dari shalat dan bacaan Al-Qur’an dengan mengaburkannya kepadaku” maka Rasulullah saw berkata “ itu setan yang disebut khanzab, jika engkau merasakannya, maka mintalah kepada Allah SWT untuk melindungimu darinya dan meludahlah Kesamping Kirumu Tiga Kali (H.R Muslim No. 2203)

Membersihkan tempat sujud dari debu, baik dengan tangan ataupun dengan cara meniupnya. Hal ini dilarang Nabi SAW. Yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah R.A:

NABI SAW MELIHAT SEORANG PELAYAN KAMI YANG DIKENAL DENGAN NAMA PANGGILAN AFLAH, APABILA SUJUD IA SELALU MENIUP, MAKA NABI SAW BERSABDA, “HAI AFLAH BIARKANLAH MUKAMU BERDEBU” (H.R Tharmudzi)

Apabila bersujud Aflah selalu meniup debu dari tempat sujudnya, kemudian hal itu diketahui Nabi SAW. Maka Nabi SAW bersabda kepadanya:

“BIARLAH MUKAMU BERDEBU DALAM SUJUDMU, DEMI KARENA RABB-MU, DAN SENANGLAH ENGKAU DENGAN BEKSA IBADAH YANG ADA PADA WAJAHMU”

Kemulian yang sesunggunya ialah, kemuliaan dalam taat kepada Allah SWT. Sebagaiman yang biasa dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dan Nabi Daud dalam Sujudnya masing-masing.

TATA CARA SHALAT DAN RUKUN RUKUN-NYA

Sebelum kita melakukan shalat, kita harus mengetahui syarat sahnya kita melakukan shalat itu, apa-apa sajakah yang diwajibkan dan apa-apa sajakah yang membatalkannya, rukun-rukun apasajakah yang harus dilakukan. Adapun rukun-rukun shalat yang harus kita penuhi ada 13 perkara:

1. Niat, sebagaimana hadits Rasullullah SAW dari sahabat Umar R.A menceritakan bahwa nabi SAW bersabda:

Innamala’malu Bin Niat Wa Innama Likullim Ri’immanawa
Artinya: “sesungguhnya semua amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya tiap-tiap orang itu hanyalah memperoleh apa yang telah diniatkannya” (Riwayat Khamsah kecuali Abu Daud)

2. Berdiri, shalat dimulai dengan takbiratul ikhram dengan berdiri dalam shalat fardhu jika mampu, jika tidak mampu boleh sambil duduk, tidak mampu juga boleh sambil berbaring. Shalat sunnah boleh dikerjakan seseorang sambil duduk meskipun dia mampu berdiri. Nabi SAW bersabda:

Shalli Qa Iman Fa Illam Tastathi’ Faqa’ Da Fa Inlamtastathi’ Fa ‘Ala Janbi
Artinya: “shalatlah dengan berdiri, jika engkau tidak mampu dengan duduk, jika engkau tidak mampu pula dengan berbaring” (H.R Bukhari dan Annasa’i)

3. Takbiratul Ikhram, Abdullah bin Umar R.A menyampaikan haditsnya:

“Aku melihat Rasullulah SAW jika beliau hendak shalat, maka beliau mengangkat tangannya hingga sejajar dengan kedua pundaknya, lalau bertakbir. jika hendak rukuk, beliau melakukan hal itu juga. tapi, beliau tidak melakukan hal itu ketika mengangkat kepala dari sujud.” (Mutafaq’alaihi 703, 390)

4. Membaca Al-Fatihah, bedasarkan hadits dari Ubadah Ibnush Shamid R.A telah menceritakan, Nabi SAW pernah bersabda:

La Shalata Limanlam Yaqra’ Bifatihatil Kitabi
Artinya: “Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Al-Fatihatul kitab” (Riwayat Khamsah)

5. Rukuk, sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 43 dijelaskan:

Artinya: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk”

6. I’tidal, dari ibnu Abbas R.A, jika nabi SAW mengangkat kepala dari rukuk, beliau membaca

Allahumma Rabbana Lakal Hamdu Mil Ussamawati Wamil Ul Ardi Wama Baynahuma Wamil Uma Syi’ta Min Say’in Ba’du Ahlats Tsina I Wal Mahdi Allahumma La Mani’a Lima A’thaita Wala Mu’thiya Lima Mana’ta Wala Yanfa’u Dzaljaddi Minkal Jaddu
Artinya: “Ya Allah segala puju bagimu hingga memenuhi langit dan bumi, dan apa yang ada diantara keduanya dan memenuhi apa saja setelahnya sekehandakmu. Engkaulah zat tempat semua sanjungan dan keagungan perkataan yang paling pantas dikatakan oleh hamba, dan kami semua adalah hambaMu. Ya Allah, tidak ada yang dapat menghalangi apa yang engkau berikan, tidak ada yang dapat memberikan apa yang engkau halangi, dan kesungguh-sungguhan tidak bermanfaat bagi pelakunya disisMu.” (H.R Ahmad 3/87, Muslim 477, Annasa’i)

7. Sujud, sahabat Ibnu Abbas R.A telah menceritakan bahwa Nabi SAW pernah bersabda:

Umirtu An Asjuda ‘Ala Sab’ati ‘Azhumin ’Alal Jamhati Wa Asya Rabiyatihi ‘Ala Anfihi Walyadaini Warru’batayni Wa Athraful Qadha Maiyni Wala Nakfitats Tsiaba Wasy Sya’ara
Artinya: “Aku diperintahkan untuk bersujud diatas tujuh anggota, yaitu diatas kening, kemudian beliau SAW mengisyaratkan dengan tangannya ditujukan kepada hidungnya, tangannya, kedua lututnya dan kedua telapak kakinya. Dan kami tidak menyingkapkan pakaian dan rambut”. (Riwayat Khamsah)

8. Duduk diantara kedua sujud, Abu Hamid As-sa’idi meriwayatkan tentang tata cara shalat nabi SAW.

Idza Jalasa Fittasyahudil Awwali Jalasa ‘Ala Rijlihil Yusra Wanashabal Yumna
Artinya: “ketika duduk untuk tasyahud pertama, beliau duduk diatas kaki kiri dan menegakan kaki kanannya” (H.R Bukhari 794)

9. Duduk yang terakhir, duduk tawarruk untuk tasyahud Akhir, bedasarkan hadits Abu Hamid As-sa’idi mengenai tata cara nabi SAW shalat

Idza Jalasa Fiyrak’atil Akhiyrati Qaddama Rijlahul Yusra Wannashabal Ukhra Waqa’ada ‘Ala Maq’adatihi
Artinya: “Jika beliau duduk pada raka’at terakhir, beliau memajukan kaki kiri, menegakan kaki kanan dan duduk diatas tempat dududnya” (H.R Bukhari 794)

10. Membaca tasyahud (Tahyat) Imam Asy-syai’i menguatkan redaksi tasyahud Ibnu Abbas R.A yang diriwayatkan oleh muslim nomor 403. Rasullullah SAW mengajarkan kami tasyahud sebagaimana beliau mengajarkan kami satu surat dari Al-Qur’an, beliau bersabda:

Yang Artinya: Penghormatan yang penuh keberkahan dan shalawat hanya bagi Allah, kedamaian dan kasih sayang Allah dan keberkahannya bagimu wahai nabi. Kedamaian bagi kami dan bagi hamba-hamba Allah yang shaleh, aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hambanya dan rasullnya

Saat membaca lafadz tauhid orang yang shalat memberi isyarat dengan jari telunjuk lalu membaca shalawat kepada nabi SAW karena nama beliau disebut diakhir tasyahud, agar orang yang shalat itu selamat dari celaan yang disebut didalam hadits:

Albakhilu Man Dzukirtu ‘Indahu Falam Yushalli ‘Alayya
Artinya: Orang yang bakhil adalah orang yang namaku disebut disisinya lalu tidak membaca shalawat kepadaku (H.R Ahmad 1/201)

11. Tata cara bershalawat kepada nabi SAW terdapat dalam hadits ka’b bin ‘ujrah R.A. kami berkata “wahai Rasullullah, ajari dan beri tau kami bagaiman cara membaca salam dan shalawat kepadamu?” Beliau bersabda:

Qulu: Allahummashshalli ‘ala Muhammad wa’ala ali Muhammad kama shallaita‘ala ali ibrahim innaka hamdummajid, Allahumma Barik’ala Muhammad Wa’ala ali Muhammad kama barakta ‘ala ali ibrahim innaka hamidum majid
Artinya: “katakanlah: Ya Allah berilah shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana engkau telah memberi shalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya engkau maha terpuji dan maha agung. Ya Allah, berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana engkau beri berkah kepada keluarga Ibrahim. Sesunggunya engkau maha terpuj dan maha agung” (H.R Jama’ah)

Tetapi at-Tarmudzi dan Ibnu Majjah yang menyebut lafadz hadts diatas: ‘Ala Ibrahim “kepada Ibrahim” di kedua tempat dan tidak menyebutkan Ala Ali Ibrahim

12. Salam, membaca dua kali salam kekanan dan kekiri sambil mengatakan “Assalamu’alikum Warahmatullahi Wabarakatu” bedasarkan sabda nabi SAW:

Watahliluha Ittasliymu
Artinya: “dan penghalal dari shalat adalah ucapan salam” (H.R Para penulis Sunan)

Pada setiap bacaan salam orang, menoleh sampai orang di belakangnya melihat pipinya, karena:

Rasullullah SAW Yaltafitu Ma’a Kulli Tas Liymati Hatta Yura Bayadhu Khaddihi
Artinya: Rasullullah SAW menoleh sampai pipinya yang putih telihat

13. Tertib, teratur menurut urutannya sebagaimana yang dilakukan Rasullullah SAW. Nabi juga menegaskan dalam hadits yang bermakna: “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku melakukannya” Tertib juga diartikan melakukan segala sesuatu dengan tenag dan tidak terburu-buru (Thuma’ninah) sebagaimana yang difirmankan Allah dalam Al-Qur’an dalam Surat Al-Mukminun Ayat 1-2. Frimannya:

Qad Aflahal mu’minun, Alladzi nahum fishalattihim Khasyi’un
Artinya: Sesungguhnya beruntunglah orang-orang mukmin, yaitu orang-orang yang melakukan shalat dengan khusyu’ yakni melakukan sesuatu dengan ketenangan danm memahami apa-apa yang di ucapkannya dalam melakukan shalat tersebut.”

SYARAT-SYARAT SHALAT

Syarat sama dengan rukun, dalam hal ketergantungan sesuatu kepada keduanya. Tapi berbeda dalam dua hal:

1. Syarat dari sesuatu adalah bagian eksternal dari sesuatu tersebut, sedangkan rukun adalah bagian internal darinya.
2. Syarat mengiringinya suatu pekerjaan dari awal hingga akhir, sedangkan rukun dikerjakan satu persatu.

Syarat Shalat ada Enam:

1.) Masuk Waktu

Shalat Fardhu tidak sah jika dikerjakan sebelum masuk waktunya. Dalinya Firman Allah SWT:

إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

Artinya: Sesungguhnya saalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (Q.S An-Nisa 4:103)

Shalat sebaiknya dilakukan pada awal waktu. Hal ini ditunjukan oleh perintah-perintah umum Dalam Al-Qur’anulkarim, mengenai kesegeraan melakukan Kebaikan, seperti firman Allah SWT:

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

Artinya: Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (Q.S Ali ‘Imran 3:133)

فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ

Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. (Q.S Al-Baqarah 2:148)
Dan Firman Allah SWT:

سَابِقُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ

Artinya: Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu (Q.S Al-Hadidi 57:21)

Orang yang tidur, hingga habis waktu shalat, boleh mengerjakan shalat itu ketika terbangun. Begitu juga jika dia lupa, maka dia boleh mengerjakannya ketika ingat.

Dasarnya hadits Anas bin Malik R.A, Rasullullah SAW bersabda:

“JIKA SESEORANG DIANTARA KAMU TERTIDUR, SEHINGGA TIDAK MENGERJAKAN SHALAT, ATAU LUPA, MAKA HENDAKLAH DIA MENGERJAKANNYA KETIKA INGAT, SEBAB ALLAH SWT BERFIRMAN”

وَأَقِمِ الصَّلاةَ لِذِكْرِي

Maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku. (Q.S At-Thaha 20:14) (H.R Muslim No. 684)

Buraidah R.A berkata, Rasullullah SAW bersabda:

MAN TARAKA SHALATAL ‘ASHRI FAQAD HABTHA ’AMALUHU
ARTINYA: “ORANG YANG MENINGGALKAN SHALAT ASHAR, PAHALA AMALNYA DIHAPUS” (H.R Bukhari No. 528 dan An-Nasa’I dalam Al-Mujtaba No. 474)

2.) Menutup Aurat

Maksudnya, menutup anggota badan yang tidak pantas terlihat. Bedasarkan firman Allah SWT:

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ

Artinya: Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid. (Q.S Al-A’raf 7:31)

Aurat wanita yang sudah baligh didalam shalat. seluruh badan wanita adalah aurat didalam shalat. Kecuali muka, kedua telapak tangan dan kedua kakinya. Bedasarkan hadits Ummu Salamah R.A:

Dia bertanya kepada Nabi SAW, bolehkan wanita shalat dengan berbaju kurung tanpa memakai kain?
Beliau bersabda:

IDZA KANAD DIR’U SABIGHAN YUGHATHTHI TZUHURA QADA MAYHA
ARTINYA: “JIKA BAJU KURUNG ITU PANJANG MENUTUPI KEDUA KAKINYA” (H.R Abu Daud No. 640 dan Al-Hakim No. 115)

Dari ‘Aisyah R.A, Nabi SAW bersabda:

LA YAQBALULLAHU SHALATA HA IDHIN ILLA BIKHIMARIN
ARTINYA: “ALLAH TIDAK MENERIMA SHALAT WANITA YANG TELAH HAID KECUALI DIA BERKERUDUNG” (H.R Lima Imam Hadits Kecuali An-Nasa’i)

Menutup aurat dapat dilakukan dengan segala sesuatu yang menghalangi aurat dari pandangan mata. Dan tidak menggambarkan warna kulit. batasan aurat berbeda-beda sesuai dengan kondisi seseorang, sebagai berikut:

Aurat lelaki yang sudah baligh dan anak lelaki yang sudah Mumayyiz
Aurat dari pusar sampai lutut bedasarkan hadits ‘Ali R.A. Rasullullah SAW bersabda:

LA TUBRIZ FAJIDZAKA WALA TANZHURANNA ILA FAJIDZI HAYYI WALA MAYYITI
ARTINYA: “WAHAI ALI, JANGAN KAU TAMPAKAN PAHAMU, DAN JANGANLAH ENGKAU MELIHAT PAHA ORANG YANG MASIH HIDUP ATAU SUDAH MATI” (H.R Abu Daud No. 314)

Laki-laki wajib menutupi kedua pundaknya atau salah satunya, sebab abu hurairah R.A berkata:
Rasullullah SAW bersabda:

LA YUSHALLI AHADUKUM FIYSYSYAWBIL WA HIDI LAYSA ‘ALA ‘ATIQAYHI SYAY-UN
ARTINYA: “SESEORANG DIANTARA KAMU TIDAK BOLEH SHALAT DALAM SATU BAJU, YANG DIBAGIAN KEDUA PUNDAKNYA TIDAK TERDAPAT APA-APA” (H.R Bukhari No. 352 dan Muslim No. 516)

Ketika shalat makhruh hukumnya memakai baju yang menutupi telapak tangan dan telapak kaki. Dan haram memakai baju yang belahannya memperlihatkan aurat. Dalam hadits riwayat Ibnu Umar R.A diterangkan:

“Rasullullah SAW melarang memaki satu baju tanpa apapun selainnya seperti yang dilakukan orang yahudi.” (H.R Ahmat 2/148 dan Abu Daud No. 635)

Makruh juga shalat dengan menggunakan pakaian yang menyerupai orang kafir atau orang fasik, bedasarkan hadits Abdullah bin Umar R.A.

Nabi SAW bersabda:

MANTASYABBAHA BIQAWMIN FAHUWA MINHUM
ARTINYA: “ORANG YANG MENYERUPAI SESUATU KAUM, MAKA DIA ADALAH SALAH SEORANG DIANTARA MEREKA” (H.R Ahmad 2/50 dan Abu Daud No. 4031)

Dari Abu Dzar R.A nabi SAW bersabda:

TSALA TSATUN LAYUKALLIMU HUMULLAHU YAU MALQIYAMAH AL MANNA NULLADZI LAYU’THI SYAY AN ILLA MANNAHU WAL MUNAFIQU SIL’ATAHU BIL HALIFIL FAJIRI WAL MUSBILU IZARAH

ARTINYA: TIGA KELOMPOK MANUSIA YANG TIDAK AKAN DIAJAK BICARA OLEH ALLAH PADA HARI KIAMAT: “ORANG YANG SELALU MENYEBUT-NYEBUT PEMBERIANNYA KEPADA ORANG LAIN, ORANG YANG MENJUAL BARANG DAGANGANNYA DENGAN SUMPAH PALSU, DAN ORANG YANG MENG-ISBAL KAINNYA” (H.R Muslim 1/102 No. 106)

Abdullah bin Mas’ud R.A berkata, aku mendengar Rasullullah SAW bersabda:

MAN ASBALA IZARAHUFI SHALATIHI KHUYALA-A FALAISA MINALLAHI FI HILLI WALA HARAM

ARTINYA: “ORANG YANG MENGISBAL KAINNYA KETIKA SHALAT, KARENA KESOMBONGAN, MAKA ALLAH TIDAK AKAN MENGAMPUNI DOSANYA, DAN TIDAK AKAN MENCEGAHNYA TERJERUMUS KEDALAM PERBUATAN BURUK” (H.R Abu Daud No. 637 dan An-Nasa’I, Al-Kubra 5-483 dan 9689)

Dijelaskan oleh hadits riwayat Ahmad dari Amr bin Zurarah Al-Anshari, Aku berjalan sambil mengisbal kain. lalu, nabi SAW menyusulku sambil memegang ubun-ubunya dan bersabda:

ALLAHUMMA ‘ABDA KABNI ‘ABDI KABNI AMATIKA
ARTINYA: “YA ALLAH, INI HAMBAMU, ANAK HAMBAMU, ANAK HAMBA PEREMPUANMU”

Aku berkata Ya Rasullullah, betisku kecil, beliau bersabda:

YA ‘AMRU INNALLAHA ‘AZZA WA JALLA QAD AHSANA KULLI SYAI IN KALQAHU YA ‘AMRU
ARTINYA: “WAHAI AMR, ALLAH TELAH MENCIPTAKAN SEGALA SESUATU DALAM BENTUK YANG TERBAIK”

Lalu beliau meletakan empat jari tangan kanannya, dibawah lututku, dan bersabda:

YA ‘AMRU HADZA MAW DHI’UL IZAR
ARTINYA: “WAHAI AMR INILAH LETAK UJUNG KAIN”
Lihat musnad Ahmad 29/321 No. 1782 (Shahih)

Dari Abu hurairah R.A nabi SAW bersabda:

MA ‘ASFALA MINALKA’BAINI MINAL IZARI FAFINNAR
ARTINYA: “ORANG YANG MENGENAKAN PAKAIAN YANG MELEBIHI KEDUA MATA KAKINYA, AKAN BERADA DI NERAKA” (H.R Bukhari No. 5/2182 dan No. 5450)

Ketika shalat di masjid, orang disunnahkan mengenakan baju terbaik, ini adalah konsekuensi dari Firman Allah SWT:

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ

Artinya: Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid. (Q.S Al-A’raf 7:31)

Dan Sabda Rasulullah SAW:

INNALLAHA JAMILUN YUHIBBUL JAMALA
“SESUNGGUHNYA ALLAH ITU MAHA INDAH, DAN MENYUKAI KEINDAHAN” (H.R Ahmad 1/399, Muslim No. 91, Abu Daud No. 4092 dan At-Tarmidzi No. 1999)

3.) Menghindari Najis

Orang yang hendak mengerjakan shalat, harus mensucikan badan, baju dan tempat shalatnya dari najis, dan tidak terkena najis ketika shalat. Hal ini ditunjukan oleh dalil-dalil dari Al-Qur’an, dan Sunnah.

dari Al-Qur’an, Firman Allah SWT:
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ

Artinya: dan pakaianmu bersihkanlah. (Q.S Al-Muddatstsir 74:4)
Maksudnya adalah: cucilah bajumu dengan air dan sucikanlah dari najis.

Sedangkan dalil dari Sunnah, Abu Sa’id Al-Khudri R.A berkata:

Rasullullah SAW shalat bersama para sahabat, tiba-tiba beliau menanggalkan dan meletakan sandalnya di sebelah kirinya. Sesudah shalat beliau bersabda: “Mengapa Kalian menanggalkan sandal?” Para sahabat berkata, Kami melihatmu menanggalkan sandal, maka kamipun menanggalkan sandal.

Rasullullah SAW bersabda:

INNA JIBRILA ATANI FA AKHBARA ANNA FIHIMA QADZARA
ARTINYA: “TADI JIBRIL A.S MENDATANGIKU, DAN MENGABARI BAHWA DISANDALKU ADA KOTORAN” (H.R Ahmad 3/20 dan Abu Daud No. 650)

Orang yang tahu dan ingat bahwa dibadan, baju, atau tempat shalatnya ada najis, dan mampu menghilangkannya, tapi dia tidak menghilangkannya, maka shalatnya tidak sah, Tapi jika dia tahu, lalu lupa, lalu shalat, dan seusai shalat barulah dia ingat, maka shalatnya sah.

Orang diperbolehkan shalat sambil mengemban Anak kecil yang diragukan, apakah telah terkena najis atau tidak. Dalilnya, hadits Abu Qatadah R.A:

“Rasullullah SAW Jika beliau sujud, beliau meletakkannya dan jika berdiri, beliau mengembannya kembali” (H.R Muttafaqun’alaih No. 494 dan 543)

4.) Kewajiban menyempurnakan Wudhu’

Membersihkan diri dari hadats kecil dengan Wudhu’ dan dari hadats besar dengan mandi, ataupun dengan penggantinya yaitu tayamum apabila tak dapat berwudhu’ dan mandi

Syarat-syarat ini ditunjukan oleh Kitabullah, Sunnah Rasul dan Ijma’ para Mujtahidin. Tidak ada khilaf di antara ummat Islam dalam menetapkan Syarat ini, Al-Qur’anulkarim telah mewajibkan Thaharah untuk masuk kedalam shalat dalam Suratul Al-Maidah ayat 6

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.

Bersabda Nabi SAW:

LA YAQBALULLAHU SHALATA MAN AHDATSA HATTA YATAWADHDHA A
ARTINYA: “ALLAH TIADA MENERIMA SHALAT ORANG YANG TELAH BERHADATS, HINGGA IA BERWUDHU” (H.R Abu Daud dan Tharmudzi dari Abu Hurairah R.A)

LAYAQBALULLAH SHALATAN BIGHAIRI THAHURI WALA SHADAQATAN MIN GHUULU LIN
ARTINYA: “ALLAH TIADA MENERIMA SHALAT DENGAN TIDAK BERSUCI DAN TIADA MENERIMA SADAQAH YANG DIBERI DARI HARTA YANG DISEMBUNYIKAN DARI RAMPASAN PERANG” (H.R Muslim dan Tharmudzi dari Ibnu Umar R.A Taisierul Washul, Jilid 2, Hal. 231)

Berfirman Allah SWT:
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

Artinya: Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri. (Q.S Al-Baqarah 2:222)

5.) Menghadap Kiblat, Yaitu Ka’bah

Bedasarkan Firman Allah SWT:

فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ

Artinya: Hadapkanlah mukamu ke arah Masjidilharam. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. (Q.S Al-Baqarah 2:144)

Jika seseorang tidak dapat menghadap kewujud kiblat yang diterangkan ayat ini, maka ia harus menghadap kearahnya, bedasarkan sabda Nabi SAW:

MA BAINAL MASYRIQI WAL MAGHRIBI QIBLATU
ARTINYA: “ARAH DIANTARA TIMUR DAN BARAT ADALAH KIBLAT” (H.R Tharmudzi No. 344 dan Ibnu Majjah No. 1011)

Jika seseorang tidak dapat menghadap kiblat karena uzur, seperti orang sakit, maka kewajiban ini gugur. Dalilnya, shalat tetap diwajibkan oleh Allah SWT. Pada saat perang yang sengit sekalipun, baik dikerjakan sambil berjalan kaki ataupun berkendaraan, padahal pada kondisi itu, orang akan sulit terus-menerus menghadap kiblat.

Dalil lainnya, hal ini termasuk kedalam Firman Allah SWT:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Artinya: Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu

Dan Sabda Nabi SAW:

IDZA AMARTUKUM BI AMRIN FALTUWMINHU MAS TATHA’TUM
ARTINYA: “JIKA AKU MEMERINTAHKAN SESUATU KEPADAMU, MAKA KERJAKANLAH SEMAMPUMU” (H.R Bukhari No. 6858 dan Muslim No. 1337)

Dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar, bahwa Ibnu ‘Umar ditanya tentang tata cara shalat khauf (shalat dalam keadaan terancam bahaya) Ibnu ‘Umar berkata:

“Jika ancaman yang ada sangat besar, maka mereka shalat sambil berjalan dan berdiri di atas kaki mereka, atau sambil berkendaraan, baik menghadap kiblat atau tidak”

Malik berkata, Nafi’ berkata:

“Menurutku, Ibnu ‘Umar pasti menceritakan hal itu sesuai dengan yang diajarkan Nabi SAW” (H.R Bukhari No. 4261)

SHALLAINA MA’AN NABIYY SAW SITTA TA’ASYARA SYAH RAN AW SAB’ATA ‘ASYARA SYAHRAN NAHWA BAITIL MAQDISITSUMMA SHURIFNA NAHWAL KA’BAH
ARTINYA: UJARNYA: “KAMI TELAH BERSHALAT BESERTA NABI SAW 16 ATAU 17 BULAN LAMANYA, MENGHADAP KE BAITUL MAQDIS, KEMUDIAN KAMI DIPERINTAHKAN MENGHADAP KE ARAH KA’BAH (Fiqhus Sunnah 1:235)

Shalat sunnah diatas kendaraan tanpa menghadap kiblat juga dibolehkan Ibnu ‘Umar R.A meriwayatkan:

“Nabi SAW bertasbih (shalat sunnah) dan shalat witir diatas tunggangannya kea rah mana saja. Tapi beliau tidak shalat fardhu diatasnya” (H.R Muttafaq’alaih No. 1047 dan No. 700)

Ketika memulai shalat, sebaiknya seseorang menghadap kiblat jika mungkin. Setelah itu, dia boleh mengarah kemana saja, Anas bin Malik R.A berkata:

“Jika Rasullullah SAW hendak shalat sunnah diatas tunggangannya, maka beliau menghadap kiblat, bertakbir untuk shalat, lalu melepaskan tunggangannya dan terus shalat kemana saja binatang itu mengarah” (H.R Ahmad, 3/20 Dan Abu Daud No. 1225)

6.) Niat

Secara etimologis, niat berarti maksud, kehendak, dan keinginan. Secara terminologis, niat berarti kehendak hati untuk melakukan sesuatu.

Niat sangat menentukan diterima atau ditolaknya suatu perbuatan. ‘Abdullah bin Mubarak berkata:

“Banyak perbuatan kecil menjadi besar karena niatnya, dan banyak perbuatan besar menjadi kecil karena Niatnya”

’Umar bin Al-Khaththab R.A berkata, Aku mendengar Nabi SAW bersabda:

INNAMALA’MALU BIN NIAT WA INNAMA LIKULLIM RI’IMMANAWA
ARTINYA: “SESUNGGUHNYA SEMUA AMAL PERBUATAN ITU TERGANTUNG PADA NIATNYA, DAN SESUNGGUHNYA TIAP-TIAP ORANG ITU HANYALAH MEMPEROLEH APA YANG TELAH DINIATKANNYA” (Mutafaqq’alaih No. 1 dan 1908)

Mayoritas ulama berpendapat bahwa niat adalah salah satu syarat shalat
Mayoritas ulama mazhab Asy-Syafi’iyah berpendapat bahwa niat adalah Rukun shalat.

Niat didalam shalat ada tiga (macam): Niat Fi’il, yaitu berniat melakukan shalat. Niat Ta’yun, yaitu menentukan shalat Fardhu atau sunnah, Ada’ (dilakukan pada waktunya) atau Qadha (dilakukan diluar waktunya), Qashar (melakukan shalat empat rakaat dalam dua rakaat) atau tidak Jama’ (menggabungkan satu shalat dengan shalat lain) atau tidak. Niat Tamyiz, yaitu membedakan shalat yang dilakukan, apakah Zuhur, Ashar atau lainnya.

Jika ketika bertakbiratul Ikhram seseorang musafir berniat melaksanakan shalat Fardhu, dan dia tidak berniat meng Qasharkan shalat itu, Kemudian di tengah-tengah shalat dia berniat meng Qasharkannya, maka shalatnya sah.

Untuk shalat jama’ tidak disyariatkan niat. Dalilnya, ketika Nabi SAW hendak mengerjakan shalat jama’ dan qashar bersama sahabat-sahabatnya, beliau tidak menyuruh seseorangpun diantara mereka untuk berniat Jama’ dan Qashar. Beliau berangkat dari Madinah ke Mekkah setelah Mengerjakan shalat dua rakaat tanpa menjama’nya.

Kemudian beliau shalat Zhuhur bersama para sahabat di Arafah. Tanpa memberitahu mereka bahwa setelah Zuhur beliau hendak mengerjakan shalat Ashar. Lalu, beliau langsung mengerjakan shalat Ashar, padahal para sahabat tidak berniat menjama’. Ini adalah Jama’ Taqdim (mengerjakan dua shalat pada waktu shalat yang pertama)


Niat dilakukan bersama-sama dengan melakukan takbiratul Ikhram. Artinya, ketika bertakbir, orang yang shalat menyadari apa yang akan di laksanakannya dan tidak melenakan shalatnya. Dia harus merenungi takbir dan merasakan keagungan Zat yang disembahnya, agar dia meraih kekhusyukan yang dipuji oleh Allah SWT.

Dalam Firmannya:
الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ ۞ قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ

Artinya: Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam salatnya. (Q.S Al-Mukminun 23:1-2)

Ada sejumlah orang yang senantiasa meragu-ragukan niat shalatnya, sehingga mereka memaksa pikiran mereka untuk menyadari niatnya. Ini merupakan suatu perbuatan yang tidak sesuai dengan Sunnah

KEUTAMAAN SHALAT

Shalat adalah rukun Islam yang terpenting setelah syahadat, shalat di wajibkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dan ummatnya ketika beliau Mi’raj, dan telah di wajibkan juga kepada umat-umat terdahulu, sebagaimana Allah SWT berfirman:

رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلاَةِ وَمِن ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاء

Artinya: “Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku sebagai orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhankami, perkenankanlah doaku.” (Q.S Ibrahim 14:40)

Shalat di wajibkan kepada setiap muslim yang telah akil-baligh, kecuali wanita yang sedang haid atau nifas. Orang yang hilang akal karena gila tidak perlu meng qadha shalat. Tapi, jika orang itu hilang akal karena mabuk atau pingsan, ”Amar bin Yasri terkena panah, lalu pingsan, sejak waktu Dzuhur, Ashar, Maghrib, sampai dengan Waktu Isya. Dia siuman ditengah malam, lalu dia shalat Dzuhur, Ashar, Maghrib dan Isya.” (Sunnan Al-Baihaqi Al-Kubra No. 1692, Sunnan Ad-Daraquthni 2/81)

Anak yang telah mumayyiz (dapat membedakan baik dengan buruk) dia harus disuruh shalat dengan sifat mendidik yakni lemah lembut, Kalau sudah berumur dengan sifat tegas, kalau dia tidak mau shalat, Dalilnya, Hadits ‘Amr bin Syu’aib dari Ayahnya dari Kakeknya Nabi SAW, bersabda:

MURŨ AULÃ DAKUM BISHSHALATI WAHUM ABNA U SAB’I SINĨNA WADHRI BUHUM ‘ALAIHA WAHUM ABNA U ‘ASYRIN WAFARRIQŨBAINAHUM FĨL MADHA JIHI

Artinya: “Suruhlah anak-anakmu melakukan shalat ketika mereka berusia tujuh tahun, setelah mereka berusia sepuluh tahun, pukul lah apabila mereka meninggalkannya dan pisahkanlah diantara mereka di tempat tidurnya” (H.R Ahmad 2/180, Abu Daud No. 495, At-Tharmudzi No. 407, dan Al-Hakim No. 721)

“Syeikh al-Islam Ibn Taimiyyah dalam Majmu’al-Fatãwã, 22/30, Mengatakan, “Tidak boleh menunda-nunda shalat dari waktunya karena junub, hadats, najis dan lainnya. Orang harus shalat pada waktunya dalam keadaan apapun”

Orang yang mengingkari kewajiban shalat, Zakat atau kewajiban lainnya yang diketahui secara pasti, padahal dia mengetahuinya, maka dia telah Kufur. Sebab dia mendustakan Al-Qur’an Al-Karim dan Rasulullah SAW.

Ibn Qayyim dalam Ash-shalah Wa Hukm Tarikiha 1/53 berkata “Kufurnya orang yang meninggalkan shalat telah dinyatakat dalam Al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’ sahabat”

Dari Jubir Bin ‘Abdullah, Rasulullah SAW bersabda:

BAINAR RAJULI WABAINASY SYIRKI WALKUFRI TARKUSH SHALATI
“Pembatas Seseorang Dengan Kemusyrikan Dan Kekufuran Adalah Meninggalkan Shalat” (H.R Muslim No. 82, Abu Daud No. 4678, An-Nasa’I, Al-Mujtaba No. 464 dan At-Tharmudzi 262)

Dari Abdullah bin Umar R.A, Rasulullah SAW bersabda:

BUNIAL ISLAMU ‘ALA KHAM SĨN SYAHADATI ALLA ILAHA ILLALLAHU WA ANNA MUHAMMADAN ‘ABDUHU WARUSULUHU WA IQAMISHSHALATI WA ITA IZZAKATI WAHAJJIL BAITI WASHAUMI RAMADHAN
Islam Didirikan Diatas Lima Perkara, Syahadat Bahwa Tiada Tuhan Selain Allah Dan Muhammad Adalah Rasulullah, Mendirikan Shalat, Menunaikan Zakat, Berhaji Kebaitullah Dan Puasa Ramadhan” (H.R Muttafaq’alihi No. 8 dan No. 16)

Orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja, akan dihapus pahala seluruh amal shalehnya. Dalilnya, Hadits Buraidah R.A dia berkata, Rasulullah SAW bersabda;

MAN TARAKASH SHALATAL ‘ASHRI FAQAD HABITHA ‘AMALUHU

Artinya: “Barang Siapa Meninggalkan Shalat ‘Ashar, Maka Pahala Perbuatannya Dihapus” (H.R Al-Bukhari No. 528, dan An-Nasa’I, Al-Mujtaba 474)

Orang yang tidak menyempurnakan salah satu rukun, atau syarat shalat dengan sengaja, sama dengan orang yang meninggalkannya. Hudzaifah bin Al-Yaman R.A melihat orang yang tidak sempurna melakukan rukuk dan sujud, lalu dia berkata

MÃ SHALLAYTA WALAU MUTTA ‘ALA GHAIRIL FITHRA TILLATIY FATARALLAHU MUHAMMADÃ SALLAHU ‘ALAIHI WASALLAMA ‘ALAIHA

Artinya: “Engkau Tidak Shalat. Jika Engkau Mati, Maka Engkau Mati Diluar Fitrah Yang Diajarkan Allah Kepada Muhammad Saw” (H.R Bukhari No.758)

Firman Allah SWT:
فَإِن تَابُواْ وَأَقَامُواْ الصَّلاَةَ وَآتَوُاْ الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ

Artinya: Jika mereka bertobat, mendirikan salat danmenunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagamamu. (Q.S At-Taubah 9:11)

Firman Allah SWT:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (Q.S Al-Baiyyinah 98:5)

Manusia diperintahkan oleh Tuhan untuk ber ibadah, Perintah itu dinamai “Amar”, yaitu suruhan. Menurut Usul Fiqhi, Setiap suruhan pada dasarnya adalah wajib hukumnya, Jadi, perintah Ibadah itu Wajib hukumnya, di Antara perintah itu adalah shalat yang lima waktu, Maka shalat yang lima waktu itu wajib hukumnya.

Di Dalam ayat ini dinyatakan, bahwa ketika beribadah itu semata-mata dikerjakan karena mengikuti perintah Allah SWT. Kata “meng Ikhlaskan” menurut ilmu bahasa arab adalah Kata “Hal” sedang dalam keadaan, jadi arti ayat ini “Sembahlah Tuhanmu dalam Keadaan Kamu sedang Meng Ikhlaskan Ibadah KarenaNya”

Firman Allah SWT:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusiamelainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Q.S Adz-Dzariyat 51:56)

Dalam ayat ini ditegaskan oleh Allah SWT, bahwa kita di alam dunia ini diciptakan Tuhan, Semata-mata untuk menghambakan diri kepadaNya. Baik dalam keadaan suka maupun dalam keadaan duka, karena silih bergantinya keadaan yang didatangkan kepada kita, baik dalam keadaan mendapat nikmat, maupun mendapatkan musibah, semuanya itu adalah untuk menguji ke Imanan kita, apakah kita konsisten dalam menjalankan perintahnya

Bersabda Rasulullah SAW di Riwayatkan

‘AN ‘UMARA BIn KHATHTHAB R.A ANNAHU WALA SAMI’TU RASULULLAH SAW YAQULU: INNAMAL A’MALU BINNIATI WA INNAMA LIKULLIN RI IN MANAWA

Dari Umar bin Khaththab R.A beliau berkata “Saya dengar Rasulullah SAW berkata”: “Bahwasanya seluruh ibadah dengn niat, dan yang di dapat manusia hanya yang diniatkannya.” (H.R Bukhari dll.)

Jadi Setiap kewajiban shalat yang telah ditentukan oleh Tuhan itu kita lakukan harus Ikhlas karena Allah SWT semata, barulah kita menunaikan kewajiban shalat dengan sempurna.

KEISTIMEWAAN SHALAT

Shalat adalah salah satu ibadah yang diperintahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang mula pertama dilakukan terjadi sebelum Isra wa Mi’raj. Shalat Fardhu di Lakukan dua kali sehari semalam. Yaitu sebelum matahari terbit dan sebelum matahari terbenam, yaitu shalat subuh dan shalat Ashar. Berdasarkan dalil As-Suhailiy dan Al-Muzniy Menyebutkan Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an: “Dan bertasbihlah memuji Tuhanmu pada waktu petang dan pagi”

1. Shalat yang mula-mula Allah SWT fardhukan kepada RasulNya, dipermulaan wahyu yang diwahyukan sebelum diperintahkan Amal-amal dan fardhu yang lainnya

2. Shalat tiang agama.

Bersabda Nabi Muhammad SAW:
ASHSHALATU ‘IMADUDDIN, FA MAN AQAMAHA FAQAD AQAMADDIN, WAMAN HADA MAHA FAQAD HADA MADDIN
ARTINYA: “SHALAT ITU TIANG AGAMA, BARANG SIAPA MENDIRIKAN SHALAT, SUNGGUH IA TELAH MENDIRIKAN AGAMA, DAN BARANG SIAPA TIDAK BERSHALAT, SUNGGUH IA TELAH MERUNTUHKAN AGAMA” (H.R Bukhari dari Umar R.A)

ASHSHALATU ‘AMUWDUL ISLAM
ARTINYA: “SHALAT ITU, TONGGAK ISLAM” (H.R Abu Nu’aim dari Bilal Ibn Yahya)

Sabda-sabda Nabi SAW ini haruslah diperhatikan sungguh-sungguh! Kata Al-Imam Ahmad dalam mensyarahkan hadits ini: “Shalat itu tiang agama Islam”. Sesudah hilang lenyap Ibadah shalat, hilang lenyaplah Islam (Agama). Shalatlah akhir agama. Barang siapa telah hilang akhir agamanya, berarti telah hilang semua agamanya. Oleh karena itu, pegang teguhlah akan shalat itu. Janganlah disia-siakan atau di mudah-mudahkan. Haruslah diketahui, bahwasanya rumah apabila telah patah tiangnya, tiadalah berguna lagi dinding-dindingnya dan kasau-kasaunya

3. Shalat lima waktu, difardhukan di malam mi’raj. Shalat lima itu difardhukan dilangit, pada malam Nabi Muhammad SAW ber Isra’ (berjalan malam) dan ber Mi’raj (Naik kealam tinggi), Yaitu suatu peristiwa yang menggemparkan penduduk Mekkah yang terjadi setahun sebelum Nabi SAW Hijrah ke Madinnah

Seluruh Ibadah fardhu selain dari shalat, Allah SWT perintahkan Kepada Jibril membawa perintah-perintah itu kepada Nabi SAW. Hanya Shalat sajalah yang diperintahkan oleh Allah SWT, Kepada Jibril untuk membawa Nabi SAW dari Mekkah lalu membawanya diwaktu malam Ke Baitul Maqdis (ke Masjidil Aqsha) dan terus membawa Mi’raj (naik) kea lam tinggi, untuk menerima langsung perintah kefardhuan shalat.

Pada malam sebelum Ber Isra’ itu, terlebih dahulu bathin Nabi SAW dibersihkan oleh Malaikat dari segala rupa keraguan dan memenuhi hati Nabi SAW dengan Iman dan Hikmah, serta membersihkan anggota-anggota Nabi SAW dengan Air zam-zam

Dan Allah SWT menghadiahkan shalat kepada Nabi SAW di ketika Nabi SAW menghadapNya, menegaskan bahwasanya shalat itu suatu ibadah yang luar biasa.

Suatu perbuatan yang paling terhormat. Keadaan ini diumpamakan dengan hadiah seorang raja, yang diberikan kepada seorang pegawai yang paling tinggi yang datang berziarah (datang menghadapnya) atas undangan istimewa dari raja besar itu sendiri.

4. Shalat akhir wasiat Nabi SAW
Diterangkan oleh Ahmad dalam risalah Ash-Shalah, bahwa Shalatlah yang di Ingatkan oleh beliau SAW. Kepada para umat sewaktu beliau SAW akan meninggalkan dunia ini. Dalam wasiatnya yang penghabisan kepada kita para umatnya:


ALLAHA ALLAHA FISHSHALATI WAMA MALAKAT AYMANUKUM

ARTINYA: “INGATLAH AKAN ALLAH! INGATLAH AKAN ALLAH, TERHADAP SHALAT DAN TERHADAP BUDAK-BUDAK SEHAYA YANG KAMU MILIKI” (H.R Ahmad, Risalah Ash-Shalah: 8)

5. Shalat permulaan amal yang dihisab di akhirat, dan akhir ibadah yang ditinggalkan ummat didunia. Bersabda Nabi SAW:

AWWALU MAYUHA SABLIBIHIL ‘ABDU YAUMAL QIAMATI SHALA TUHU, FA IN QUBILAT TUQUBBILA ‘ANHU SAL IRU’AMALIHI. WA IN RUDDAT ‘ANHU SA IRU’AMALIHI

ARTINYA: “AMALAN YANG MULA-MULA DIHISAB DARI SESEORANG HAMBA DI HARI KIAMAT IALAH “SHALAT”, JIKA SHALATNYA DI TOLAK (TIDAK DITERIMA) DITOLAKLAH AMALAN-AMALANNYA YANG LAIN-LAIN” (H.R Ath-Thabrany dari Anas Jami’ush Shaghier 1:94 Ash Shalah: 6)

Bersabda Nabi SAW:

AWWALU MA TAFQUDU NA MIN DIYNIKUMUL AMANATU WA A KHIRU MA TAFQUDU NA ‘ASHSALAH WALYUSHALLIYANNA QAWMUN LA KHALA QA LAHUM

ARTINYA: AMALAN YANG MULA-MULA KAMU HILANGKAN DARI AGAMAMU, IALAH: “AMANAH DAN YANG AKHIR KAMU TINGGALKAN, IALAH: SHLAT. BIARLAH BERSHALAT SEGOLONGAN ORANG YANG TIADA MEMPUNYAI PERUNTUNGAN APA-APA DARI SHALATNYA” (H.R Ahmad dari Syaddad Ibn Aus, Ash-Shalah: 6)

AWWALU MA YUR FA’U MINANNASIL AMANATU WA AKHIRU MA YABQA MIN DIYNIHIMISHSHALATU WA RUBBA MUSHALLIN LA KHALA QALAHU ‘INDALLAHI TA’A LA

ARTINYA: YANG MULA-MULA DICABUT DARI PADA MANUSIA IALAH AMANAH, DAN YANG AKHIR TINGGAL DARI AGAMA MEREKA, IALAH: “SHALAT” DAN BERAPA BANYAK ORANG YANG BERSHALAT, TIADA MEMPUNYAI PERUNTUNGAN APA-APA DARI SISI ALLAH SWT (H.R Al-Hakim dari Zaid ibn Tsabit, Jami’ Shaghier 1:94)

Hadits-hadits ini menjelaskan kepada kita dengan sejelas-jelas nya bahwa: “Shalat itu Akhir agama yang ditinggalkan ummat, dan Permulaan amal yang diperiksa, dihisab di Akhirat”


6. Shalat, seutama-utama syiar islam, dan sekuat-kuat tali perhubungan antara hamba dengan Allah SWT. Shalat adalah senjata-nyata Ibadah yang membuktikan keislaman. Sekuat-kuat tha’at yang mengesankan manfaat pada jiwa manusia, dan sangat mudah dikenal atau diketahui orang. Karena itulah agama membesarkan qadarnya (nilainya) dan membesarkan urusannya. Sungguh shalat itu sebesar-besar ibadah. Dialah ibadah yang sangat mendekatkan hamba kepada tuhannya (Ma’budnya).

Dalam sebuah Hadits Nabi SAW menerangkan:

AQRABU MAYAKUWNUL ‘ABDU LIRABBIHI WAHUWA SAJIDUN FA AKTSIRUDDU-‘A-A FIHI

ARTINYA: “SEDEKAT-DEKAT HAMBA KEPADA TUHANNYA, IALAH DIKALA HAMBA ITU BERSUJUD. MAKA BANYAKKANLAH DOA DALAM SUJUD ITU” (H.R Muslim, Abu Daud dalam An-Nasa-‘i dari Abu Hurairah, At-Targhieb 1:213)

Sebenarnya, shalat dapat dipandang dengan dua macam pandangan:

Pertama: Shalat itu suatu syi’ar Islam mengingat hal ini, agama menyuruh supaya kita memerintahkananak-anak kita bershalat di kala mereka telah berumur tujuh tahun, dan memukulnya kalau mereka tidak mau melakukan hal tersebut dalam rangka mendidiknya

Kedua: shalat itu shilat (perhubungan) antara hamba dengan khaliqnya (Allah SWT)
Kerena itulah diberatkan benar-benar shalat itu atas segala mereka yang telah baligh dan berakal, atau telah mukallaf

KEDUDUKAN SHALAT

Shalat dan Kedudukannya adalah bagian terpenting dalam Islam. Shalat merupakan tiang penyangga yang sekaligus menjadi ciri Islam dan juga pembeda antara Kafir dan Muslim. Shalat merupakan syarat mencapai Keselamatan dan penyangga Iman seseorang, ia juga merupakan penghubung antara hamba dengan Tuhannya, Ia penyejuk mata dan pelipur hati.

Allah SWT memerintahkan shalat lima waktu untuk mengingat dan berzikir mengagungkan kebesaranNya, Begitu mulia dan luhur nilainya, agar kita dapat memakai hati, lidah, anggota badan, sekaligus dalam kita memperhambakan diri kepadaNya. Masing-masing dari hati, lidah, akal dan anggota badan lainnya memperoleh bagian dalam memperhambakan diri kepadaNya, melakukan (mendirikan) shalat karenaNya.

Perintah untuk mendirikan shalat banyak disebut kan dalam Al-Qur’an antara lain:

إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

Artinya: Sesungguhnya salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (Q.S An-Nisa: 4:123)

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ

Artinya: Peliharalah segala salat (mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah karena Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk. (Q.S Al-Baqarah 2:238)

وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

Artinya: dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk. (Q.S Al-Baqarah 2: 43)

Diantara hadits-hadits Nabi SAW yang menerangkan tentang Shalat adalah:

Dari Ibnu Mas’ud R.A berkata:
Saya bertanya kepada Rasullullah SAW, “Amalan apakah yang afdal?” Beliau Menjawab: “Shalat sesuai dengan waktunya”. Aku bertanya, “Kemudian Apalagi?” Beliau menjawab, “Berbuat baik kepada orang tua”. Aku bertanya lagi, “Kemudian Apa Lagi?” Beliau Menjawab “Jihad di Jalan Allah” (H.R Muttafaq’alaih)

Dari Abu Haurairah R.A berkata:
Aku mendengar Rasullullah SAW bersabda: “Apakah kalian tahu andaikan sebuah sungai berada dirumah salah seorang diantara kalian, dan ia mandi disana 5 Kali setiap hari, maka apakah masih tertinggal daki (kotoran) dari badannya?” mereka berkata “Tidak ada yang tertinggal sesuatu kotoran dari badannya” Beliau berkata, “Maka demikianlah perumpamaan shalat lima kali itu, Allah Menghapuskan Kesalahan-kesalahan” (H.R Muttafaq’alaih)

Inilah yang sebenarnya yang dimaksud dengan menjadikan manusia supaya mereka beribadah kepada Allah SWT. Berfirman Allah SWT
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ

Artinya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (Q.S Adz-Dzariyat 51:56)

Dengan memperhatikan sifat dan kaifiat shalat, Nyatalah bahwa:
Shalat itu telah disusun dengan cara yang menghasilkan sempurna-sempurna martabat ‘ubudiyah (memperhambakan diri kepada Allah SWT). Ucapan lidah, amalan anggota badan, I’tikat hati, berjalin menjadi satu dalam rangka bagian shalat. Baik dalam berdiri, dalam rukuk, dalam sujud dan dalam duduk.

Kesimpulannya, tak ada keraguan lagi, bahwasanya shalat itu memang sesempurna martabat memperhambakan diri kepada Allah SWT. Sekaligus pembeda antara seseorang Muslim dengan musyrik sebagaimana sabda Rasullullah SAW:

BAINARRAJULI WABAINASYSYIRKI AWI KUFRI TARKU SHSHALAT
ARTINYA: “BEDA ANTARA SESEORANG MUSLIM DAN MUSYRIK ATAU KAFIR ADALAH MENINGGALKAN SHALAT” (H.R Muslim)

KEUTAMAAN SHALAT

Sesungguhnya shalat mempunyai kedudukan yang sangat agung dalam agama islam ini. sebab, shalat merupakan tiang yang menjaganya, dan amalan yang pertama kali akan dihisab dari seseorang hamba kelak pada hari kiamat. Mengingat begitu urgensinya dan begitu tinggi kedudukannya dalam Islam, maka shalat termasuk salah satu wasiat yang di sampaikan oleh Rasullullah S.AW saat beliau dalam keadaan sakaratul maut. “Demi bapak dan ibuku sebagai tebusannya” kemudian beliau bersabda:

ASHALATA ASHALATA WAMA MALAKAT AYMANUKUM
ARTINYA: “JAGALAH SHALAT, JAGALAH SHALAT DAN HAMBA SAHAYA KALIAN”

Shalawat dan salam selalu dicurahkan atas diri beliau beserta keluarga & orang-orang yang mengikutinya.

Apabila urgensi shalat tersebut telah dipahami, niscaya tidak akan di dapati dalam masyarakat Islam perkara-perkara yang menyeret pada perbuatan keji dan dosa. Sebab, penyebab utama perkara-perkara tersebut adalah karena mereka meninggalkan shalat atau meremehkan pelaksanaannya.

Allah S.W.T berfirman:

إِنَّ الصَّلاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ

Artinya: “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya) dari ibadah-ibadah yang lain, dan Allah mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan” (QS: Al-‘Ankabut, 29:45)

Orang yang selalu mengerjakan shalat lima waktu, maka ia tidak mungkin akan mengkhianati umat dan bangsanya, serta tidak mungkin pula mengkhianati risalah dan amanah-Nya

Rasullullah S.A.W telah memberikan kepada kita resep yang mujarab untuk mengobati segala dosa dan penyimpangan. Sebagaimana sabda beliau:

“BAGAIMANA PENDAPAT KALIAN, JIKA DI DEPAN PINTU RUMAH SALAH SEORANG DI ANTARA KALIAN ADA SUNGAI, SEHINGGA SETIAP HARINYA IA MANDI SEBANYAK LIMA KALI, MAKA APAKAH MASIH TERSISA SEDIKITPUN DARI KOTORANNYA?” PARA SAHABAT MENJAWAB, “TIDAK, YA RASULLULLAH.” MAKA RASULLULLAH S.A.W BERSABDA, “ITULAH PERUMPAMAAN SHALAT LIMA WAKTU. DENGANNYA ALLAH AKAN MENGHAPUS SEMUA KESALAHAN (DOSA)” (H.R Muslim)

Adapun tata cara melaksanakan shalat Rasullullah S.A.W, menuntun kita sebagaimana sabdanya:
SHALLU KAMA RA’AITUMUNI USHALLU
ARTINYA: “SHALATLAH KAMU SEKALIAN SEBAGAIMANA KALIAN MELIHAT AKU SHALAT”

Ini merupakan sebuah instruksi dari beliau supaya kita meneladani shalat beliau S.A.W dimana shalat beliaulah yang paling lengkap dan paling sempurna.

Rasullullah S.A.W apabila hendak mengerjakan shalat dan telah menghadap kiblat, maka beliau biasa memulainya dengan ucapan “Allahu Akbar” (H.R Muslim dan Ibnu Majah)

Inilah yang disebut Takbiratul Ikhram, ia termasuk salah satu rukun shalat, dan shalat tidak akan sah tanpa di mulai dengannya, beliau tidak pernah mengucapkan sesuatupun sebelum Takbiratul Ikhram, dan beliau juga tidak pernah melafazhkan niat secara mutlak, sebagaimana dilakukan orang-orang sekarang.

Sesungguhnya amalan ini termasuk bid’ah yang tiada dalilnya, mengucapkan atau melafazhkan niat tersebut. Dan beliau S.A.W hanya memerintahkan sebagaimana sabdanya:

“JIKA KAMU TELAH BERDIRI UNTUK MENGERJAKAN SHALAT, MAKA BER TAKBIRLAH” (H.R Bukhari 799-757, Muslim 397)

Adapun membaca do’a Isti’adzah yakni memohon perlindungan kepada Allah, dengan mengucapkan “A’udzubillahi minasysyaithanirrajim” ada tuntunannya, yaitu firman Allah S.W.T:

فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
Artinya: “Apabila kamu membaca Al-Qur’an, maka mintalah perlindungan kepada Allah dari syetan yang terkutuk” (Q.S Al-Nahl, 16:98)

Juga Bedasarkan Praktek Nabi S.A.W Karena Beliau Setelah Membaca Do’a Iftitah, Biasa Mengucapkan:

“ALLAHUMMA INNI ‘AUDZUBIKA MINASYSYAITANIRRAJIM MIN HAMZIHI WANAFJIHI WANAFTSIHI”
ARTINYA: YA ALLAH, SESUNGGUHNYA AKU BERLINDUNG KEPADA-MU DARI SYETAN YANG TERKUTUK, BAIK DARI GOADAAN BISIKAN MAUPUN SIHIRNYA. (H.R Abu Daud 670, Ibnu Majah 807)

Diriwayatkan dengan shahih dari nabi S.A.W:

LA SHALATA LIMN LAM YAQRA’ BIFATIHATIL KITAB.
ARTINYA: “TIDAK SAH SHALAT SESEORAN, APABILA TIDAK MEMBACA SURAT AL-FATIHAH” (H.R Bukhari 576, Muslim 394)

Tentang menyimak (mendengarkan) bacaan imam, Allah S.W.T berfirman:

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Artinya: “dan Apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapatkan rahmat” (Q.S Al-A’raf 7:204)

Juga bedasarkan sabda nabi S.A.W:

MAN KANALAHU IMAMUN FAQIRA ATUHULAHU QIRA ATU
ARTINYA: “BARANG SIAPA YANG SHALAT BERSAMA IMAM, MAKA BACAAN IMAM JUGA MENJADI BACAANNYA” (H.R Ibnu Majah 850). Mayoritas ulama lebih mengunggulkan pendapat ini.

Disunnahkan bagi imam, makmum dan yang shalat sendirian untuk membaca “Amin” beliau S.A.W memotivikas kita supaya mengamalkan hal itu dalam sabdanya:

MAN WAFAQA TA’MINUHU TAKMINAL MALA IKATI GHUFIRALAHU MATAQADDAMA MIN DZAMBIHI
ARTINYA: BARANG SIAPA YANG UCAPAN AMINNYA BERTEPATAN DENGAN UCAPAN AMIN PARA MALIAIKAT, MAKA DOSA-DOSANYA YANG TELAH LAMPAU TELAH DIAMPUNI (H.R Bukhari 780, muslim 410)

Disunnahkan juga kita membaca apa yang mudah dari Al-Qur’an pada dua rakaat pertama setelah Al-Fatihah, karna nabi S.A.W juga membacanya demikian. Dalam shalat subuh nabi S.A.W biasa membaca sekitar 60 sampai 100 ayat, kadang kala beliau S.A.W memanjangkan bacaan shalat dzuhur, sementara dalam shalat Asharnya hanya separuh dari bacaan shalat dzuhur. Dalam shalat magrib beliau biasa membaca surat-surat pendek dan adapun pada shalat isya bacaan beliau biasanya pertengahan saja. Seperti surat Al-A’la, Adh-Dhuha, Alam Nasrah, Asy-Syams, At-Tin dan sejenisnya

Sementara pada shalat jum’at beliau biasa membaca surat Al-Jumu’ah, Al-Munafiqun, Al-A’la dan Al-Ghosyiyah. Sedangkan dalam shalat ‘Id, beliau biasa membaca surat Qaf dan Al-Qamar ataupun Al-A’la dan Al-Ghasyiyah

Beliau biasanya lebih memanjangkan rakaat pertama dari pada rakaat kedua. Beliau selalu membaca sesuai dengan madnya, berhenti dalam setiap ayatnya dan memanjangkan suaranya:

Beliau bersabda:

LAYSA MINNA MAN LAM YATAGANNI BILQUR’ANI
“BUKAN TERMASUK GOLORANGKAN KAMI ORANG YANG TIDAK MELAGUKAN (MEMBAGUSKAN) BACAAN AL-QURANNYA (H.R Bukhari 7527)

Ini merupakan suatu seruan dan motivasi supaya kita memperindah suara saat membaca Al-Qur’an dan membaguskan bacaan Al-Qur’an

Dalam shalat sunnah, beliau biasa memuji Allah saat membaca ayat yang didalamnya terdapat tasbih, meminta (karunia) kepada Allah dan memohon perlindungan kepadaNya

Tuesday, May 24, 2011

AKIBAT ORANG YANG MENINGGALKAN SHALAT

Shalat adalah Ibu segala ibadah. Cara ibadah yang paling lengkap untuk hambanya, Merasakan rasa ketuhanan, dan agar hamba-hambanya dapat melahirkan sifat kehambaan, masa permbaharuan iman dan ikrar kepada Tuhan. Karena itu apabila seseorang hamba tidak mengerjakan atau meninggalkan shalat, maka mereka di anggap sebagai berikut:

1. Dia telah melakukan kesombongan yang paling besar
2. Dia seolah-olah tidak mengaku bahwa Allah SWT itu Tuhannya.
3. Orang yang meningglkan shalat, adalah orang yang telah terputus hubungannya dengan Allah SWT, yaitu telah putus asa dengan Tuhannya, dan Terputus dengan Rahmatnya.
4. Orang yang tidak bersedia ber-ikrar atau membaharui ikrar agar hidup matinya untuk Allah SWT.
5. Orang yang tidak bercita-cita beriman dan memperbaiki jiwanya.
6. Orang yang tidak berharap lagi kepada Tuhan.
7. Orang yang tidak shalat, berarti ia telah menentang perintah Tuhan. Orang yang menentang perintah Tuhan, berarti dia telah menjadi kafir.

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Sahabat Jabir R.A sebagai berikut:
INNA BAIYNARRAJULI WABAYNASY SYIRKI WAL KUFRI TARKASHSHALATI
Artinya: “Sesungguhnya pembeda antara seorang Muslim dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” (H.R Muslim No. 987, Abu Daud No. 1658, An-Nasa’i No. 1/231 dan lain-lain)

Siapa yang meninggalkan shalat, maka seluruh amalannya tertolak atau tidak di terima. Sungguh rugilah orang-orang yang meninggalkan shalat. Karena shalat dalam Islam merupakan tiang agama. Ia di wajibkan melakukannya di dalam sehari semalam Lima Kali. Shalat di dalam Islam merupakan ibu dari segala ibadah. Ia juga merupakan salah satu rukun Islam yang Lima. Bahkan ia ialah sebagai tiang utamanya. Sebagaimana Sabda Rasulullah SAW:
ASHSHALATU ‘IMADUDDIN, FA MAN AQAMAHA FAQAD AQAMADDIN, WAMAN HADA MAHA FAQAD HADA MADDIN
Artinya: Shalat itu ialah tiang agama, maka barang siapa yang mendirikannya maka sungguh ia telah menegakkan agama, dan barang siapa yang meninggalkannya sungguh mereka telah meruntuhkan agama.” (H.R Bukhari dari Umar R.A)

Allah SWT telah memperingatkan terhadap orang-orang yang meninggalkan shalat. Demikian pula Rasul SAW telah menjelaskan. Firman Allah SWT:

قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ , مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ

Artinya: "Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?", Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat. (Q.S Al-Muddatstsir 74 : 42-43)

Nabi SAW bersabda:
MAN HAFAZHA ALAIHA KANAT LAHU NURAN WA BURHANA, WANAJATAN YAUMAL QIAMAT, WAMAN LAM YUHAFIZH ‘ALAIHA LAM YAKUN LAHU NURAN WALA BURHANUN WALA NAJATUN WAKANA YAUMAL QIAMATI MA’AQARUN, WAFIR’AUN, WAHAMAN WA UBAYYABNA KHALAFI
Artinya: “Barang siapa memelihara shalatnya, menjadilah shalat itu baginya cahaya keterangan, dan sebab memperoleh kelepasan di hari kiamat, barang siapa tiada memelihara shalatnya, tak ada baginya yang demikian itu, bahkan adalah ia di hari kamat beserta qarun, Fir’aun, Haman, Ubai binKhalaf.” (H.R dari Ibnu Umar R.A sanad yang baik Ath-Thabarany).

Meninggalkan shalat berarti menjatuhkan diri kedalam neraka, merusakkan hak sesame Muslim. Sesungguhnya di dalam shalat itu ada hak hamba dan hak Allah SWT, hak Rasul, dan Hak segala orang-orang yang beriman kepada Allah SWT. Karena itu, sangat lah besar maksiatnya, sebab meninggalkan shalat itu, mengingat di dalam shalat kita wajib membaca Tasyahhud:
ASSALAMU ‘ALAIKA AYYUHAN NABIYYU WARAHMATULLAHI WABARAKATU, ASSALAMU ‘ALAIYNA WA ‘ALA ‘IBADILLAHISH SHALIHIN, ASY-HADUANLA ILA HA-ILLALLAH, WA ASY-HADU-ANNA MUHAMMDAN ABDUHU WARASULUHU.

meninggalkan shalat sama sekali membawa kepada tiada diterima sesuatu amalpun. Sebagai mana tiada di terima sesuatu karena ada syirik. Karena shalat itu ‘Imadul Islam, tiang tengah Islam. Sebagaimana bunyi hadits Nabi SAW:
ASSALATU ‘IMADUDDIN FAQAD AQAMAHA FAQAD AQAMADDIN
Artinya: “Shalat Itu tiang agama, siapa yang meningglkan shalat berarti meruntuhkan agama” (H.R Al-Baihaqi)

Ibadah-ibadah yang lain di umpamakan rangka-rang rumah untuk menguatkan bangunan tersebut, jadi jika tiang tidak ada tentulah tidak dapatmanfaat dari bangunan tersebut, karena mudah robohnya. Lantaran demikian, di teriamanya ibadah-ibadah yang lain bergantung kepada di terimanya ibadah shalat.

Hukum meninggalkan Shalat

Orang yang meninggalkan shalat, Dua Kemungkinan:
Pertama, Mungkin ia meninggalkan shalat itu karena menolak kewajibannya, atau mengingkarinya.
Kedua, Mungkin juga ia meninggalkan shalat, karena enggan dan malas mengerjakannya. Sementara ia masih mengakui kewajiban shalat itu baginya.

1.Orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya.
Barang siapa yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya, atau menolak kewajibannya, dan tidak ada alasan lain, maka ia dihukumi sebagai orang kafir. Karena telah mengingkari kewajiban yang di syariatkan Allah SWT dan Rasul-Nya.

2. Orang yang meninggalkan shalat karena malas, dan enggan. Tetapi ia tidak mengingkari kewajibannya. Tidak ada perbedaan di tengah-tengah kaum muslimin, bahwa orang yang meninggalkan shalat, wajib dengan sengaja (Tidak Karena Udzur Syar’i), merupakan dosa besar, bahkan dosa terbesar dari dosa-dosa besar.

Para ‘Ulama berbeda pendapat tentang hokum orang yang meningglkan shalat karena malas dan enggan ini di dalam Dua pendapat:
Pendapat pertama, Bahwa orang itu adalah orang Fasik, Orang yang bermaksiat dan berlaku Dosa besar tetapi tidak kafir. Ini adalah pendapat kebanyakan ‘ulama di antaranya: Madzhab Ats-Tsauri, Abu Hanifah dan Teman-temannya, Malik, Asy-Syafi;I dan Ahmad dalam Salah satu dari dua riwayat darinya.

Argumen Pendapat yang menolak mengkafirkan orang yang Meninggalkan Shalat:
Pendapat yang menolak untuk mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat mengatakan bahwa, telah di ketahui dengan pasti bahwa orang tersebut telah beragama Islam, dengan pasti masuknya kedalam agama Islam. Dalilnya ialah: Allah SWT mengampuni seluruh dosa-dosa kecuali dosa syirik, sebagaimana Firman Allah SWT:
إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya” (Q.S An-Nisa’ 4:48)
Mereka berkata bahwa: orang yang meninggalkan shalat termasuk dalam kehendak Allah SWT dan tidak dihukumi dengan hokum kafir.

Pendapat yang mengkafirkan orang tersebut, menjawab argumen ini, bahwa ayat ini tidak mengecualikan kufurnya orang yang meninggalkan shalat, karena Rasulullah SAW telah bersabda:
INNA BAIYNARRAJULI WABAYNASY SYIRKI WAL KUFRI TARKASHSHALATI
Artinya: “Sesungguhnya pembeda antara seorang Muslim dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” (H.R Muslim No. 987, Abu Daud No. 1658, An-Nasa’i No. 1/231 dan lain-lain) Hadits shahih.
Keterangan: Maka orang yang meninggalkan shalat masuk kedalam ke umuman ayat ini atas dari segi pengambilan dalilnya, yaitu bahwa orang tersebut termasuk yang tidak di ampuni oleh Allah SWT, karena orang tersebut fasik dan ingkar dengan dalil hadits.

Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW telah menjadikan shalat itu sebagai pembatas final antara kekufuran dengan keimanan. Dan antara orang-orang mukmin dengan orang-orang kafir. Dan yang dinamakan pembatas itu secara otomatis membedakan antara yang di batasi serta mengeluarkan dari yang lainnya. Maka dua hal yang dibatasi tu pasti berbeda dan tidak akan bercampur antara satu dengan yang lainnya.

BERHIAS DALAM SEBELUM SHALAT

Al-Qur’an telah mewajibkan kita berhias mamakai yang indah untuk bershalat.

Selain kita diperintahkan menutup aurat yang dikehendaki oleh peradaban dan kemanusian, diperintahkan juga kita memakai pakaian yang bagus untuk mengerjakan shalat

Berfirman Allah SWT:

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

Artinya: Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (Q.S Al-A’raf 7:31)

Ayat ini menyuruh kita memakai “Zinah” (pakaian yang baik) dikala hendak mengerjakan shalat. Menurut pendapat Al-Imam Ibnu Katsir ialah: “Segala yang kita berhias dengannya termasuk kedalam Zinah, pakaian yang indah, wewangian dan lain-lainnya.”

Tegasnya ayat ini, menyuruh kita bershalat Istimewa pada hari Jum’at, hari Raya dan menyuruh kita memakai wewangian dan bersugi

Diriwayatkan oleh Bukhari, Seseorang sahabat bertanya kepada Umar R.A tentang memakai sehelai kain dalam bershalat Umar R.A berkata:

“IDZA AUSA’ALLAHU FA AUSI’U”
ARTINYA: APABILA ALLAH TELAH MEMBERI KELUASAN KEPADAMU, MAKA PERGUNAKANLAH KELUASAN ITU” (Tafsir Al-Manar 8:380)

Rasullullah SAW bersabda:

“APABILA SALAH SEORANG KAMU BERSHALAT, MAKA HENDAKLAH DIA MEMAKAI DUA KERAT KAINNYA, KARENA SESUNGGUHNYA ALLAH LEBIH BERHAK KITA BERHIAS UNTUKNYA. JIKA DIA TIDAK MEMPUNYAI DUA KERAT KAIN, HENDAKLAH DIA BERSARUNG APABILA DIA BERSHALAT. DAN JANGANLAH SEORANG KAMU MENYELIMUTKAN BADANNYA SEBAGAI ORANG YAHUDI MENYELIMUTKAN DIRI” (H.R Ath-Thabarany, Al-Bashaqi: Fiqih Sunnah 1:233)

Al-Imam Ibnu Katsir menegaskan: bahwa sebaik-baik kain, ialah yang berwarna putih, sebagaimana hadits:

ILBASU MIN SYIYABIKUMUL BAYADHA FAINNAMA MIN KHAIRI SYIYABIKUM
ARTINYA “PAKAILAH OLEHMU DARI KAIN-KAINMU YANG BERWARNA PUTIH, KARENA SESUNGGUHNYA KAIN YANG BERWARNA ITU, DARI SEBAIK-BAIK KAIN PAKAIANMU” (H.R Ahmad dari Ibnu Abbas)

Al-Hasan Ibn Ali Apabila berdiri kepada shalat memakai pakaian yang paling baik dari pakaian-pakaiannya, lalu orang bertanya kepadanya tentang sikap itu, maka beliau menjawab

INNALLAHA JAMILUN YUHIBBUL JAMALA FA ATA JAMMALU LIRABBI WAHUWA YAQULLI KHUDZU ZINATAKUM ‘INDA KULLI MASJID
ARTINYA: SESUNGGUHNYA ALLAH ADALAH INDAH, DIA MENYUKAI KEINDAHAN, KARENA ITU AKU MEMAKAI PAKAIAN YANG INDAH UNTUK TUHANKU DAN DIA (TUHANKU) BERKATA: “AMBILLAH HIASANMU DISETIAP SHALAT” (Fiqih Sunnah 1:234)

Diberitakan oleh Ibnu Mardawaih dari Abu Hurairah, bahwasanya Nabi SAW bersabda:

KHUDZUU ZINATA QALU WAMA ZINATU SHSHALATI QALA ILBASUU FI’ALAKUM FASHALLU FIIHA
ARTINYA: “AMBILLAH HIASAN SHALAT” BERTANYA PARA SAHABAT, APAKAH GERANGAN HIASAN YANG KAMI PAKAI UNTUK SHALAT? MENJAWAB NABI SAW: “PAKAILAH SEPATU-SEPATUMU DAN SHALATLAH DENGAN MEMAKAINYA” (Tafsir Al-Manar 8:38)

Demikianlah yang diperintahkan Allah dan RasulNya dan juga para sahabat-sahabat mengamalkannya, jadi kita dianjurkan sangat untuk mengamalkan hal yang demikian.

SHALAT BERJAMA'AH ADALAH WAJIB

Segala puji hanya bagi Allah, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah atas Rasullullah S.A.W beserta keluarga, para sahabat dan orang-orang loyal kepadanya. Dalam sebuah hadist yang paling kita kenal, yang mana beliau bersabda:

Shallu Kama Ra’aiytumuni u Shalli
Artinya: “Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kalian melihat aku shalat” (H.R Bukhari Muslim dari Malik Ibnu Huwairits)

Ini merupakan sebuah instruksi dari beliau supaya kita meneladani shalat beliau S.A.W, dimana shalat beliaulah yang paling lengkap dan paling sempurna.

Dalam melaksanakan shalat yang telah diwajibkan kepada setiap pribadi muslim, nabi S.A.W telah mencontohkan kepada kita, bagaimana cara shalat yang bermakna dan bernilai disisi Allah S.W.T. banyak hadist yang menunjukan akan pentingnya melaksanakan shalat berjama’ah. Sebagaimana sabda beliau:

Shalatul Jama’ati tufadhdhilu shalatal faddi bisab’in wa’isyrina darajat.
Artinya: “Shalat berjama’ah lebih utama dari pada shalat sendirian dengan 27 derajat”

Ini menunjukan akan tingginya nilai jika ibadah shalat dilakukan secara berjama’ah. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Usman R.A. beliau bersabda:
Barang siapa yang menghadiri shalat ‘isya, maka seakan-akan dia telah berdiri beribadah setengah malam. Dan barang sipa yang menghadiri shalat subuh, maka seakan-akan dia berdiri beribadah semalaman.

Bahkan dalam hadist lainnya beliau memperlihantkan kemarahannya kepada orang-orang yang tidak mau mengahiri (memenuhi) panggilan adzan untuk melaksanakan shalat berjama’ah. Beliau bersabda:

Man sami’annida a falam ya’tihi fala shalata lahu illa min ‘ulrin
Artinya: Barang siapa yang mendengar panggilan adzan, tetapi ia tidak mendatanginya maka tidak ada shalat baginya (H.R Ibnu Majah 793, Ibnu Hibban 2064)

Dan juga beliau bersabda:

Demi zat dan jiwaku yang berada ditanganNya, sungguh sebenarnya aku ingin memerintahkan (kaum muslimin) agar mengumpulkan kayu Bakar lalu diikat. Kemudian aku perintahkan agar shalat berjama’ah didirikan. Sehinnga adzanpun di kumandangkan. Setelah itu, aku akan perintahkan seseorang supaya meng imami kaum muslimin, selanjutnya aku akan mendatangi kaum laki-laki yang tidak ikut shalat berjama’ah. Lalu aku bakar semua rumah mereka (H.R Bukhari 7224, Muslim 651, Ibnu Majah 791)

Ada seseorang yang buta biasa shalat berjama’ah bersama nabi dimasjidnya. Beberapa waktu ia tidak hadir menghadiri shalat berjama’ah bersama nabi. Suatu kali dia menghadap kepada nabi S.A.W menyampaikan keluhannya karena tidak dapat hadir pada shalat berjama’ah bersama nabi. Dia meminta rubshah kepada nabi agar di izinkan shalat dirumah saja. Karena rumahnya yang jauh dan penuntunnya bermasalah. Beliau bersabda:

Hal tasma u nidha a bishshalat? Qala: Na’am, Qala : Fa ajib
Artinya: “Apa engkau mendengar seruan untuk shalat?” Ia menjawab: “ya, betul”. Beliau bersabda: “maka penuhilah seruan itu.” (H.R Muslim 635, Ibnu Hibban 2063)

Ibnu mahmud R.A, sebagaiman diriwayatkan Muslim, juga berkata:

Walaqad Ra’aytuna wama yatakhallafu ‘anha illa munafiqun ma’luum
Artinya: “Sungguh kami telah melihat bahwa tidak ada seorangpun yang meninggalkan shalat, kecuali ia adalah seorang munafiq yang sudah mafhum kemunafikannya”

Wahai kaum muslimin, shalat berjama’ah hukumnya adalah wajib bagi semua laki-laki yang baligh dan berakal. Terkecuali ada uzur syar’i yang membolehkan, misalnya: karena dalam ke’adaan sakit, hujan deras, situasi yang tidak kondusif, tempat tinggal yang sangat jauh, karena takut kehilangan harta dan gangguan dari orang yang melakukan kejahatan. Di bolehkan untuk melaksanakan shalat berjama’ah dirumah, dimana ia berada.

Untuk lebih jelasnya kefardhuan shalat berjama’ah, marilah kita lihat pendapat para fuqhaha. Para fuqhaha berselisih paham tentang hukum berjama’ah dimasjid untuk shalat fardhu:

Pertama: Kata imam Asy Syafi’I dalam mukhtashar al-muzany:
Wa ammal jama’atu fala urakhishu fitarkiha illa min udzrin
Artinya: “Adapun shalat berjama’ah, maka saya tidak ma’afkan seseorang meninggalkannya, kecuali karena uzur”

Kedua: Kata kebanyakan pengikut Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Asy Syafi’I:
“Bahwasanya berjama’ah pada shalat fardhu di masjid, hukumnya fardhu khifayah.“

Ketiga: kata Imam Abu Hanifah dan Imam Malik:
“Shalat berjama’ah di masjid itu hukumnya sunat mu’akad”

Keempat: Kata Daud bin Ali:
“Berjama’ah pada shalat fardhu di masjid, hukumnya fardhu dan syarat sah shalat”

Kelima: Kata Ali Ibn Abu Thalib R.A:
“Barang siapa dari tetangga-tetangga masjid mendengar seruan adzan lalu dia tidak memenuhinya, sedang iapun sehat dan tidak uzur, maka tak ada shalat baginya (H.R Ahmad dari Ibn Mas’ud)

Adapun pendapat para sahabat, terutama Umar R.A berkata:
Bahwasanya umar pada suatu waktu tidak mendapati seseorang lelaki didalam jama’ah shalat yang sedang didirikan, maka datanglah umar kerumah orang yang tidak menghadiri jama’ah itu, lalu beliau memanggilnya, setelah orang itu keluar dan menemui Umar, segera Umar bertanya: “Apakah yang menghalangi engkau tidak menghadiri shalat berjama’ah?” orang itu menjawab “saya sakit wahai Amirulmu’minin, sekiranya bukan suara tuan yang saya dengar, saya tidak keluar” mendengar itu Umar berkata: “Engkau tinggalkan seruan yang lebih wajib, engkau sahuti dari pada seruan Umar ini yaitu penyeru Allah S.W.T”

Sabda nabi S.A.W
Barang siapa yang shalat berjama’ah karna Allah S.W.T selama 40 hari dalam keadaan selalu menjumpai takbiratul ikhram pertama bersama imam, niscaya dicatatkan baginya dua kebebasan, yaitu bebas dari neraka dan bebas dari kemunafiqan (H.R Thurmudzi)

Setiap langkah ke Masjid untuk menghadiri (melaksanakan) shalat berjama’ah, akan diberi pahala dan dihisab. Setiap langkah diberi pahala satu kebaikan dan menghapus satu kesalahan sebagaimana ditunjukkan hadits dari Abu Hurairah (H.R Mutafaq’alaih 465 dan 649)

Rasullullah S.A.W bersabda

Artinya: jika seseorang berwudhu’ dengan baik, lalu keluar kemasjid hanya untuk menunaikan shalat berjama’ah, maka setiap kali ia melangkah dianagkat satu derajatnya dan dihapus satu kesalahannya (H.R Mutafaq’alaih 465, 469)

Sejak seseorang muslim masuk kemasjid untuk melaksanakan shalat berjama’ah, maka malaikat memohonkanm ampun baginya. Didalam hadits sahih diterangkan:

Seseorang dinilai sedang mengerjakan shalat selama ia berada di masjid untuk menunggu shalat berjama’ah dan malaikat berkata “Ya Allah ampunilah dia, kasihanilah dia sampai dia pergi atau berhadas) (H.R Bukhari 3057, Muslim 649)

Shalat berjama’ah membuat orang saling mengenal, mengasihi dan berkomunikasi. Sebab, orang sekitarnya mengetahui orang yang sakit, terdesak kebutuhan, dan meninggal dunia. Berkat komunikasi mereka di masjid sehingga merekapun dapat melakukan kewajiban yang ditetapkan syariat, yaitu menengok, membantu dan berta’ziah kepada orang-orang tersebut