Oleh : Muhammad al-Fakkar
A. Pengantar
Salah
satu perbedaan sistem Islam dengan sistem Kapitalis adalah bahwa sistem
Kapitalis memandang persoalan sosial dan rumah tangga dianggap sebagai
masalah ekonomi, sedangkan sistem Islam masalah-masalah di atas dibahas
tersendiri dalam hukum-hukum seputar interaksi pria-wanita (nizhâm
al-ijtima’iyyah). Misalnya dalam sistem kapitalisme tidak ada istilah
zina jika laki-laki dan perempuan melakukan hubungan suami isteri tanpa
ikatan pernikahan asal dilakukan suka-sama suka atau saling
menguntungkan sebaliknya disebut pelecehan seksual dan pelakunya dapat
diajukan ke pengadilan jika seorang suami memaksa dilayani oleh seorang
isteri sementara isterinya menolak.
Karena
itu dalam persoalan pakaian antara penganut sistem kapitalis dan sistem
Islam jelas perbeda. Dalam sistem kapitalis pakaian dianggap sebagai
salah satu ungkapan kepribadian, sebagai unsur penarik lawan jenis dan
karena itu memiliki nilai ekonomis. Bentuk tubuh seseorang –apalagi
wanita– sangat berpengaruh terhadap makna kebahagiaan dan masa depan.
Adapun
Islam menganggap bahwa pakaian digunakan memiliki karakteristik yang
sangat jauh dari tujuan ekonomis apalagi yang mengarah pada pelecehan
penciptaan makhluk Allah. Karena itu di dalam Islam:
1.
Pakaian dikenakan oleh seorang muslim maupun muslimah sebagai ungkapan
ketaatan dan ketundukan kepada Allah, karena itu berpakaian bagi seorang
muslim memiliki nilai ibadah. Karena itu dalam berpakaian iapun
mengikuti aturan yang ditetapkan Allah.
2.
Kepribadian seseorang ditentukan semata-mata oleh aqliyahnya (bagaimana
dia menjadikan ide-ide tertentu untuk pandangan hidupnya) dan
nafsiyahnya (dengan tolok ukur apa dan seberapa banyak dia berbuat dalam
memenuhi kebutuhan hidup dan melampiaskan nalurinya).
3. Setiap manusia memiliki kedudukan yang sama, yang membedakan adalah takwanya.
Melalui
cara berpakaian yang Islami, sesungguhnya Allah juga berkehendak
memuliakan manusia sebagai makhluk yang memang telah Allah ciptakan
sebagai makhluk yang mulia. Sebaliknya dengan tidak mengikuti cara
berpakaian sesuai yang dikehendaki Allah, menyebabkan kedudukan manusia
jatuh.
Walhasil
seorang muslim dan muslimah wajib mengetahui aturan berpakaian agar
dalam berpakaian dan berpenampilan ia akan mendapatkan ridha Allah,
bukan sebaliknya mendapatkan murka Allah.
B. Pakaian Bagi Seorang Muslim
Pakaian yang dikenakan oleh seorang muslim haruslah memenuhi syarat tertentu, yakni:
1. Menutup aurat;
2. Tidak terbuat dari emas atau sutera;
3. Tidak menyerupai pakaian wanita;
4. Tidak menyerupai orang-orang kafir.
2. Tidak terbuat dari emas atau sutera;
3. Tidak menyerupai pakaian wanita;
4. Tidak menyerupai orang-orang kafir.
C. Aurat Laki-Laki
Aurat laki-laki adalah antara pusar dan lutut, berdasarkan riwayat ‘Aisyah:
Dari ‘Amr bin Syu’aib dari Bapaknya dari kakeknya, beliau menuturkan bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Jika
ada di antara kalian yang menikahkan pembantu, baik seorang budak
ataupun pegawainya, hendaklah ia tidak melihat bagian tubuh antara pusat
dan di atas lututnya.” [HR. Abu Dawud, no. 418 dan 3587].
Rasulullah Saw bersabda:
Aurat laki-laki ialah antara pusat sampai dua lutut. [HR. ad-Daruquthni dan al-Baihaqi, lihat Fiqh Islam, Sulaiman Rasyid].
Dari
Muhammad bin Jahsyi, ia berkata: Rasulullah Saw melewati Ma’mar, sedang
kedua pahanya dalam keadaan terbuka. Lalu Nabi bersabda:
“Wahai Ma’mar, tutuplah kedua pahamu itu, karena sesungguhnya kedua paha itu aurat.” [HR. Ahmad dan Bukhari, lihat Ahkamush Sholat, Ali Raghib].
Jahad
al-Aslami (salah seorang ashabus shuffah) berkata: pernah Rasulullah
Saw duduk di dekat kami sedang pahaku terbuka, lalu beliau bersabda:
“Tidakkah engkau tahu bahwa paha itu aurat?” [HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Malik, lihat Shafwât at-Tafâsir, Muhammad Ali ash-Shabuni].
Juga Rasulullah Saw pernah berkata kepada Ali ra: “Janganlah engkau menampakkan pahamu dan janganlah engkau melihat paha orang yang masih hidup atau yang sudah mati.” [HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, lihat Shafwât at-Tafâsir, Muhammad Ali ash-Shabuni].
Larangan Memakai Emas Dan Sutera Bagi Laki-Laki
Larangan ini berdasarkan hadits:
Diriwayatkan dari al-Bara’ bin Azib r.a katanya: “Rasulullah
Saw memerintahkan kami dengan tujuh perkara dan melarang kami dari
tujuh perkara. Baginda memerintahkan kami menziarahi orang sakit,
mengiringi jenazah, mendoakan orang bersin, menunaikan sumpah dengan
benar, menolong orang yang dizalimi, memenuhi undangan dan memberi
salam. Baginda melarang kami memakai cincin atau bercincin emas, minum
dengan bekas minuman dari perak, hamparan sutera, pakaian buatan Qasiy
yaitu dari sutera, serta mengenakan pakaian sutera, sutera tebal dan
sutera halus.” [HR. Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad, CD Al-Bayan 1212].
Larangan Menyerupai Wanita
Seorang
laki-laki dilarang bertingkah laku, termasuk berpakaian menyerupai
wanita dan sebaliknya seorang wanita bertingkah laku termasuk berpakaian
seperti laki-laki.
Larangan Menyerupai Orang Kafir
Menyerupai
orang kafir (tasyabbuh bil kuffar) dilarang bagi muslim maupun
muslimah. Tasyabbuh dapat dilakukan melalui pakaian, sikap, gaya hidup
maupun pandangan hidup.
Bagi
seorang laki-laki pakaian yang harus dikenakan sama, apakah dia di
dalam rumah, di luar rumah, di hadapan mahram atau bukan, kecuali di
hadapan isteri.
D. Pakaian Bagi Seorang Muslimah
Adapun pakaian yang dikenakan oleh seorang muslimah haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Menutup aurat;
2. Menetapi jenis dan model yang ditetapkan syara’ (memakai jilbab, khumur, mihnah dan memenuhi kriteria irkha’);
3. Tidak tembus pandang;
4. Tidak menunjukkan bentuk dan lekuk tubuhnya;
5. Tidak tabarruj;
6. Tidak menyerupai pakaian laki-laki;
7. Tidak tasyabbuh terhadap orang kafir.
2. Menetapi jenis dan model yang ditetapkan syara’ (memakai jilbab, khumur, mihnah dan memenuhi kriteria irkha’);
3. Tidak tembus pandang;
4. Tidak menunjukkan bentuk dan lekuk tubuhnya;
5. Tidak tabarruj;
6. Tidak menyerupai pakaian laki-laki;
7. Tidak tasyabbuh terhadap orang kafir.
Rincian masing-masing persyaratan di atas berbeda-beda berdasarkan:
1. Keberadaan wanita di tempat umum atau di tempat khusus.
2. Keberadaan wanita di hadapan mahram atau bukan atau di hadapan suami atau bukan.
Penampilan
wanita dibedakan antara tempat khusus dan tempat umum. Misalnya di
dalam rumah sendiri seorang wanita boleh membuka jilbabnya dan hanya
memakai mihnahnya, kecuali jika ada tamu laki-laki non muhrim. Adapun di
tempat umum penampilan wanita dibatasi dengan ketentuan-ketentuan
sebagai berikut:
a. Kewajiban menutup aurat, seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan.
b.
Kewajiban menggunakan pakaian khusus di kehidupan umum, yaitu kerudung
(khimar) dan jilbab (pakaian luar yang luas (seperti jubah) yang menutup
pakaian harian yang biasa dipakai wanita di dalam rumah (mihnah), yang
terulur langsung dari atas sampai ujung kaki.
c.
Larangan tabarruj (menonjolkan keindahan bentuk tubuh, kecantikan dan
perhiasan di depan laki-laki non muhrim atau dalam kehidupan umum).
d. Larangan tasyabbuh terhadap laki-laki.
Khusus
untuk wanita menopause diperbolehkan Allah untuk melepaskan jilbabnya
hanya saja tetap diperintahkan untuk tidak tabarruj, sehingga
diperbolehkan baginya menggunakan baju panjang selapis/tidak rangkap
(bukan jilbab) model apa saja selama tidak menampakkan keindahan
tubuhnya seperti baju panjang atas bawah, kulot panjang dan lain-lain,
Qs. an-Nûr [24]: 60).
Pakaian
wanita di dalam rumahnya cukup menggunakan mihnah (kecuali ada tamu
bukan mahrom, maka wajib menutup aurat yang harus ditutup di hadapan
bukan mahrom). Di hadapan mahrom maka cukup menggunakan mihnah (kecuali
di tempat umum maka harus memenuhi pakaian wanita di tempat umum), di
hadapan suami tidak ada keharusan menutup bagian tubuhnya (walaupun
dianjurkan tidak telanjang).
E. Aurat Wanita
Pembahasan aurat wanita dibagi menjadi tiga keadaan, yaitu:
1. Di hadapan suami mereka maka wanita boleh menampakkan seluruh bagian tubuhnya (berdasarkan hadits riwayat Bahz bin Hakim).
2.
Di hadapan muhrimnya dan orang-orang yang disebut dalam Qs. an-Nûr [24]:
31 dan Qs. an-Nisâ’ [4]: 23 maka baginya boleh menampilkan bagian
tertentu dari anggota tubuhnya yang biasa disebut mahaluzzinah yaitu
anggota badan yang biasanya dijadikan tempat perhiasan, seperti: kepala
seluruhnya, tempat kalung (leher), tempat gelang tangan (pergelangan
tangan) sampai pangkal lengan dan tempat gelang kaki (pergelangan kaki)
sampai lutut. Mahaluzzinah ini biasa tampak ketika wanita memakai baju
dalam rumah (mihnah). Selain itu anggota tubuh lain boleh tampak
termasuk apabila ada hajat seperti perut, payudara, kecuali aurat yang
ada di antara pusar dan lutut.
Pemahaman mahaluzzinah ini diambil dari firman Allah SWT:
“….dan
janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa)
nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke
dada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali…” (Qs. an-Nûr [24]: 31).
Kata
zinah yang secara bahasa berarti perhiasan, tetapi bukanlah perhiasan
yang biasa dipakai orang tetapi makna zinah di sini adalah anggota badan
yang merupakan tempat perhiasan (mahaluzzinah), karena illa mâ zhahara
minha yang dimaksud adalah yang biasa nampak pada saat itu (saat ayat
ini turun) yaitu muka dan telapak tangan, jadi menyangkut anggota badan.
1.
Adapun di hadapan laki-laki selain suami dan muhrimnya maka aurat wanita
adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.
Dasar dari penentuan aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan, yaitu:
“….dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (Qs. an-Nûr [24]: 31).
Sedangkan
yang dimaksud dengan yang biasa nampak daripadanya adalah wajah dan
telapak tangan. Karena dua bagian ini yang biasa nampak dari wanita
muslimah di hadapan Rasul Muhammad Saw (baik dalam sholat, haji maupun
dalam kehidupan sehari-hari di luar sholat dan haji) dan Rasul
mendiamkannya sementara ayat-ayat al-Qu’ran masih turun. Tafsir mengenai
hal ini, Ibnu Abbas menyatakan yang dimaksud dengan illa mâ zhahara
minha adalah muka dan tangan, juga dari Imam Ibnu Jarir ath-Thabari
menyatakan “Pendapat yang paling kuat dalam masalah ini adalah pendapat
yang menyatakan bahwa sesuatu yang biasa nampak adalah muka dan telapak
tangan.” (Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, jld. 18, hal. 94). Hal
tersebut diperkuat dengan sabda Rasul Saw kepada Asma’ binti Abu Bakar:
“Wahai
Asma’: Sesungguhnya wanita yang telah haid tidak layak baginya terlihat
dari tubuhnya kecuali ini dan ini. Beliau menunjuk pada wajah dan
telapak tangannya.” [HR. Abu Dawud, No. 3580].
Qs.
an-Nûr [24]: 31 turun sebelum ayat tentang jilbab sehingga ayat ini
hanya menyampaikan batasan aurat dan perintah memakai kerudung.
Sedangkan kewajiban berjilbab akan dibahas menyusul.
Adapun
berkaitan dengan apa aurat itu ditutup, maka sesungguhnya syara’ tidak
menentukan pakaian tertentu untuk menutup aurat, tetapi hanya memberikan
beberapa syarat yaitu:
1. Pakaian itu tidak menampakkan aurat (dapat menutup semua aurat).
2.
Pakaian itu dapat menutup kulit, sehingga tidak diketahui warna kulit
dari wanita yang memakainya, yaitu apakah kulitnya putih, merah, kuning,
hitam dan lain-lain. Apabila tidak memenuhi syarat tersebut tidak dapat
diianggap sebagai penutup aurat. Jika pakaian itu tipis misal brokat,
kerudung tipis, kaos kaki tipis, rukuh tipis dan lain-lain, sehingga
kelihatan warna kulit (rambut) si pemakai pakaian itu, maka wanita yang
memakai pakaian tersebut dianggap auratnya tampak atau tidak menutupi
auratnya. Dalil bahwa syariat Islam telah mewajibkan menutup kulit
sehingga tidak tampak warna kulitnya adalah hadits yang diriwayatkan
dari A’isyah ra, beliau telah meriwayatkan bahwa Asma’ binti Abu Bakar
datang kepada Rasulullah Saw dengan memakai baju yang tipis maka
Rasulullah memalingkan wajahnya dari Asma’ dan bersabda:
“Wahai Asma’: Sesungguhnya wanita yang telah haid tidak layak baginya terlihat dari tubuhnya kecuali ini dan ini…” [HR. Abu Dawud, no. 3580].
Rasulullah
dalam hadits di atas menganggap baju yang tipis belum menutup aurat dan
menganggap auratnya terbuka, sehingga beliau memalingkan wajah dari
Asma’ dan memerintahkan Asma’ untuk menutup aurat. Dalil lain yang
memperkuat dalam masalah ini adalah hadits yang diriwayatkan Usamah:
“Perintahkan
isterimu untuk mengenakan pakaian tipis lagi (gholalah) di bawah baju
tipis tersebut. Sesungguhnya aku takut wanita itu tersifati tulangnya.”
Rasulullah
Saw ketika mengetahui Usamah memakaikan pakaian tipis itu pada
isterinya, beliau menyuruhnya agar isterinya mengenakan pakaian tipis
lagi di bawah pakaian tipisnya itu. Dan Rasulullah memberi illat pada
masalah itu dengan sabdanya:
“Sesungguhnya aku takut wanita itu tersifati tulangnya.”
Artinya
wanita harus menutup sifat dari tulangnya, tidak boleh menggunakan
pakaian yang tipis, sehingga kelihatan warna kulitnya.
Dengan
demikian wanita harus memperhatikan 2 syarat tersebut ketika memilih
jenis dan bahan pakaian penutup aurat termasuk penutup aurat di depan
mahrom dan wanita lain seperti celana 3/4 sampai lutut, daster dan
lain-lain.
Hanya
saja apabila wanita selain yang menopause berada di luar rumah atau
tempat-tempat umum (masjid, pasar, jalanan dan lain-lain) maka selain
batasan aurat dan larangan tabarruj, terdapat ketentuan lain yang perlu
diperhatikan yaitu adanya kewajiban menggunakan pakaian khusus yang
telah diperintahkan Allah berupa khimar (kerudung) dan jilbab (jubah
langsungan dari atas sampai ujung kaki), bukan pakaian lain seperti baju
panjang atas bawah, kulot panjang dan lain-lain. Meskipun jenis baju
tersebut menutup aurat tetapi bukan termasuk jilbab, oleh karena itu
jenis pakaian tersebut hanya bisa dipakai oleh wanita yang sudah
menopause dan sudah tidak punya keinginan seksual (Qs. an-Nûr [24]: 60).
Untuk
wanita menopause ada satu hal lagi yang perlu diperhatikan dalam
berpenampilan yaitu tidak diperbolehkan tabarruj. Oleh karena itu celana
panjang, kaos kaki panjang, kaos stret pas badan tidak boleh digunakan
sebagai penutup aurat wanita menopause karena termasuk tabarruj
(menonjolkan kecantikan dan perhiasan/bentuk tubuh). Untuk lebih
detailnya tentang pakaian khusus di kehidupan umum maka dapat dilihat
pada pembahasan selanjutnya.
Pakaian Wanita di dalam Kehidupan Umum
Dalam
kehidupan umum, yaitu pada saat wanita berada di luar rumahnya/di
hadapan laki-laki non mahrom, maka seorang wanita harus menggunakan
pakaian secara sempurna, yakni:
1. Menutup aurat;
2. Menetapi jenis dan model yang ditetapkan syara’ (memakai jilbab, khumur, mihnah dan memenuhi kriteria irkha’);
3. Tidak tembus pandang;
4. Tidak menunjukkan bentuk dan lekuk tubuhnya;
5. Tidak tabarruj;
6. Tidak menyerupai pakaian laki-laki;
7. Tidak tasyabbuh terhadap orang kafir.
1. Menutup aurat;
2. Menetapi jenis dan model yang ditetapkan syara’ (memakai jilbab, khumur, mihnah dan memenuhi kriteria irkha’);
3. Tidak tembus pandang;
4. Tidak menunjukkan bentuk dan lekuk tubuhnya;
5. Tidak tabarruj;
6. Tidak menyerupai pakaian laki-laki;
7. Tidak tasyabbuh terhadap orang kafir.
Dalil-dalil mengenai masalah ini lihat lagi pembahasan di atas. Adapaun dalil lainnya adalah sebagai berikut:
“Katakanlah
kepada wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya
kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka
menutupkankhumur (kain kerudung) ke juyub (dada)-nya, dan janganlah
menampakkan perhiasanyaa, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka,
atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera
suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera
saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka,
atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki atau
pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap
wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan
janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan. Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang
beriman supaya kamu beruntung’.” (Qs. an-Nûr [24]: 31).
Kewajiban menggunakan khumur muncul dari perintah dan hendaklah mereka menutupkan khumur/kain kerudung ke juyub (dada)-nya.
Khumur
adalah jama’ dari khimar yaitu kerudung yang menutupi kepala, dan juyub
adalah jama’ dari kata jaibun yaitu ujung pakaian (kancing pembuka)
yang ada di sekitar leher dan di atas dada. Dengan kata lain khimar
adalah kain yang menutupi kepala tanpa menutupi wajah, terulur sampai
sampai menutupi ujung pakaian bawah (jilbab) yakni kancing baju di atas
dada. Dengan demikian untuk bagian atas badan wanita diwajibkan
mengenakan kerudung yang diulurkan sampai ujung pakaian (kancing
pembuka)/di atas dada. Sedangkan bawahnya diperintahkan menggunakan
jilbab/jubah. Dalil kewajibannya adalah sebagai berikut: (1) ungkapan
Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka
sebagaimana disebutkan dalamfirman Allah SWT:
“Hai
Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan
isteri-isteri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. al-Ahzab [33]: 59).
(2)
Kebolehan menanggalkan pakaian luar (jilbab) bagi wanita menopouse
dengan ungkapan tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian (luar)
mereka sebagaimana dalam firman Allah SWT:
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian (luar) mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan (tabarruj), dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. an-Nûr [24]: 60).
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian (luar) mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan (tabarruj), dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. an-Nûr [24]: 60).
(3)
Ungkapan salah seorang di antara kami tidak mempunyai jilbab,
Rasulullah bersabda: “Hendaklah saudaranya meminjamkan jilbabnya.”
Sebagimana dalam hadits dari Ummu ‘Athiyah ra. Berkata:
Rasulullah
memerintahkan kepada kami, nenek-nenek, wanita yang sedang haid, wanita
pingitan untuk keluar pada hari raya Fitri dan Adha. Maka bagi wanita
yang sedang haid janganlah sholat dan hendaklah menyaksikan kebaikan dan
dakwah kaum muslimin. Saya berkata: “Ya Rasulullah salah seorang di
antara kami tidak mempunyai jilbab”, Rasulullah bersabda: “Hendaklah
saudaranya meminjamkan jilbabnya.” (HR. Muslim, no 1475].
Pada
Qs. al-Ahzab [33]: 59 dan hadist dari Ummu ‘Athiyah, Allah dan
Rasul-Nya memerintahkan muslimah menggunakan sejenis pakaian yang
disebut jilbab.
Memahami Pengertian Jilbab
Kata
jilbab digunakan di dalam al-Qur’an dan Hadits, namun maksud kata itu
harus dikembalikan pada maksud yang dipahami oleh masyarakat ketika kata
itu diturunkan/diungkapkan. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata
jilbab (pada nash tersebut): baju luar yang berfungsi menutupi tubuh
dari atas sampai bawah (tanah). Dalam kamus arab Al-Muhith, jilbab
bermakna: Pakaian yang lebar bagi wanita, yang menutupi tsiyab/mihnah
(pakaian harian yang biasa dipakai ketika berada di dalam rumah),
bentuknya seperti malhafah (kain penutup dari atas kepala sampai ke
bawah). Demikian pula yang disebutkan oleh al-Jauhari dalam kitab Ash
Shihah. Definisi jilbab ini juga tersirat dalam Qs. an-Nûr [24]: 60
walaupun pada ayat tersebut Allah menggunakan istilah tsiyab untuk
menyebut makna jilbab.
Dari
Qs. an-Nûr [24]: 60 dapat diambil pemahaman bahwa wanita menopause yang
sudah tidak mempunyai keinginan seksual diperbolehkan melepaskan
tsiyabnya (pakaian luarnya/jilbab), berarti tersisa mihnah, hanya saja
selanjutnya diperintahkan untuk tidak menampakkan kecantikan, bentuk
tubuh, perhiasan (tidak tabarruj) yaitu diperbolehkan menggunakan baju
apa saja sejenis mihnah yang tidak menampakkan kecantikan/bentuk tubuh
seperti baju atas bawah panjang, daster, kulot panjang dan lain-lain,
tidak seperti celana ketat panjang karena hal itu termasuk tabarruj.
Tsiyab disini dipahami pakaian luar/jilbab bukan baju biasa karena tidak
mungkin Allah memerintahkan wanita menopause telanjang. Berarti dapat
dipahami pula bagi wanita yang belum menopause diwajibkan untuk
menggunakan tiga lapis/jenis pakaian ketika di hadapan laki-laki non
mahrom yaitu kerudung, mihnah dan jilbab.
Adapun
Hadist dari Ummu ‘Athiyah menerangkan dengan jelas ketika wanita keluar
rumah/dihadapan laki-laki non mahrom diwajibkan menggunakan pakaian
yang dipakai di atas pakaian dalam rumah (mihnah), sebagaimana Ummu
‘Athiyah berkata kepada Rasulullah Saw: “Salah seorang dari kami tidak
mempunyai jilbab”, maka Rasulullah menjawab: “Hendaklah saudara
perempuannya meminjamkan jilbabnya.” Artinya jika seseorang tidak
mempunyai jilbab dan saudaranya tidak meminjami maka wanita itu tidak
boleh keluar. Inilah indikasi (qarinah) bahwa perintah hadits tersebut
adalah wajib. Dan jilbab yang dimaksudkan pada hadist ini bukan sekedar
penutup aurat tetapi sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa
jilbab: baju luar yang berfungsi menutupi tubuh langsung dari atas
sampai bawah.
Pengertian
ini dapat ditemukan juga dalam Tafsir Jalalain (lihat Tafsir Jalalain,
jld. III, hal. 1803) yang diartikan sebagai kain yang dipakai seorang
wanita untuk menutupi seluruh tubuhnya.
Jilbab
selain harus luas dipersyaratkan harus diulurkan langsung ke bawah
sampai menutupi dua telapak kaki. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan
oleh Ibnu abbas dan juga dapat dipahami dari nash-nash yudnîna
‘alaihinna min jalabibihinna di sini bukan menunjuk sebagian tetapi
untuk menjelaskan, sedangkan makna yudnîna adalah yurkhîna ila asfal
(mengulurkan sampai ke bawah/kedua kaki). Jadi kesimpulannya jilbab
harus diulurkan langsung ke bawah (tidak potong-potong/atas bawah)
sampai menutup dua telapak kaki (bukan mata kaki). Hal ini diperkuat
oleh hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar. Ibnu Umar berkata:
Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa
yang menyeret pakaiannya dengan sombong maka Allah tidak akan
melihatnya pada hari kiamat.” Ummu Salamah bertanya: “Bagaimana yang
harus diperbuat para wanita terhadap ujung baju (jilbab) mereka?”
Rasulullah menjawab: “Hendaklah mereka mengulurkan sejengkal.” Ummu
Salamah bertanya lagi: “Kalau demikian terlihat kaki mereka.” Rasulullah
menjawab: “Hendaklah mengulurkan bajunya sehasta dan jangan lebih dari
itu.”
Dari
sini jelas bahwa jilbab tidak boleh diulurkan bagian per bagian
misalnya baju potongan, tetapi diulurkannya langsung dari atas ke bawah.
Selain itu mengulurkannya harus sampai telapak kaki (bukan mata kaki),
tidak boleh kurang dari itu, oleh karena itu apabila jilbabnya terulur
sampai mata kaki dan sisanya (telapak kaki) ditutup dengan kaos
kaki/sepatu, maka hal ini tidak cukup menggantikan keharusan irkha’
(terulurnya baju sampai ke bawah). Dalam hal ini yang perlu diperhatikan
adalah adanya irkha’, yaitu jilbab harus diulurkan sampai menutupi
kedua telapak kaki sehingga dapat diketahui dengan jelas bahwa baju itu
adalah baju di kehidupan umum. Apabila jilbabnya sudah terulur sampai
ujung kaki tetapi jika berjalan kakinya masih terlihat sedikit seperti
ketika menerima tamu, berjalan di sekitar rumah, maka hal ini tidak
apa-apa walaupun tetap dianjurkan untuk ‘iffah (berhati-hati/menjaga
diri). Hanya saja apabila aktivitas wanita tersebut membuat kakinya
banyak terlihat semisal mengendarai sepeda, motor dan lain-lain maka
diwajibkan untuk menggunakan penutup kaki apa saja seperti kaos kaki,
sepatu dan lain-lain.
Memahami Pengertian Tabarruj
Tabarruj
telah diharamkan oleh Allah SWT dengan larangan yang menyeluruh dalam
segala kondisi dengan dalil yang jelas. Hal ini ditunjukkan dalam firman
Allah SWT:
“Dan
perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung)
yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan
pakaian (luar) mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan,
dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. an-Nûr (24): 60).
Pemahaman
dari ayat ini adalah larangan bertabarruj secara mutlak. Allah
membolehkan mereka (wanita yang berhenti haid dan tidak ingin menikah)
menanggalkan pakaian luar mereka (jilbab), tanpa bertabarruj.
Sedangkan
pengertian tabarruj adalah menonjolkan perhiasan, kecantikan termasuk
bentuk tubuh dan sarana-sarana lain dalam berpenampilan agar menarik
perhatian lawan jenis. Sarana lain yang biasa digunakan misalnya
wangi-wangian, warna baju yang mencolok atau penampilan tertentu yang
“nyentrik” atau perhiasan yang berbunyi jika dibawa jalan.
Orang
tua (menopouse) boleh tetap mengenakan jilbab dan boleh juga mengenakan
baju apa saja selain jilbab selama tidak menonjolkan perhiasan,
kecantikan, bentuk tubuh ketika di kehidupan umum seperti di
jalan-jalan,pasar, mall, dll. Jika wanita tua saja dilarang untuk
bertabarruj, maka mafhum muwafaqahnya yaitu wanita yang belum berhenti
haid lebih dilarang untuk bertabarruj.
Ayat lain yang melarang tabarruj adalah firman Allah SWT:
“Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” (Qs. an-Nûr [24]; 31).
Allah
dalam ayat ini melarang salah satu bentuk tabarruj, yaitu menggerakkan
kaki sampai terdengar bunyi gelang kakinya sehingga orang lain menjadi
tahu perhiasan wanita yang menggerakkan kaki tersebut, yang berarti
wanita tersebut telah menonjolkan perhiasannya. Dalil ini juga
menjelaskan akan larangan tabarruj, yaitu menonjolkan perhiasan.
Tabarruj
berbeda dengan perhiasan atau berhias. Tidak ada makna syara’ tertentu
terhadap kata tabarruj, sehingga penafsiran kata tabarruj diambil dari
makna lughawi (bahasa). Tabarruj secara bahasa berarti menonjolkan
perhiasan, kecantikan termasuk keindahan tubuh pada laki-laki non
muhrim. Dalil lain yang menerangkan bahwa tabarruj adalah menonjolkan
perhiasan, keindahan tubuh pada laki-laki asing adalah seperti yang
diriwayatkan dari Abi Musa Asy Sya’rawi:
“Wanita
yang memakai parfum, kemudian melewati suatu kaum (sekelompok orang)
supaya/sampai mereka mencium aromanya maka berarti dia pezina.”
Diriwayatkan pula dengan sabda Rasulullah Saw:
“Dua
golongan penghuni neraka, saya belum melihat sebelumnya adalah: wanita
yang berpakaian seperti telanjang dan wanita yang berjalan
lenggak-lenggok di atas kepala mereka seperti punuk unta, maka mereka
tidak akan masuk surga dan tidak mendapatkan baunya.”
Kata
telanjang, berlenggak-lenggok dan seperti punuk unta menunjukkan arti
agar tampak perhiasan dan kecantikannya. Atas dasar ini dapat dimengerti
bahwa tabarruj tidak sama dengan sekedar perhiasan atau berhias, namun
bermakna menonjolkan perhiasan.
Adapun
mengenai perhiasan, maka hukum asalnya adalah mubah untuk dikenakan
selama belum ada dalil yang mengharamkanya, hal ini sesuai dengan kaidah
syara’, Hukum asal suatu benda (asy yâ’) adalah mubah.
Perhiasan
adalah asy yâ’ (benda). Perhiasan apapun bentuknya adalah mubah selama
belum ada dalil yang mengharamkannya. Sebagian perhiasan memang
diharamkan Allah antara lain: seperti yang terungkap dari riwayat Ibnu
Umar: “Sesungguhnya Nabi
melaknat wanita yang menyambung rambutnya dengan rambut orang lain,
wanita yang rambutnya minta disambungkan, wanita yang mentato, dan
wanita yang minta ditato.”
Walaupun
semula berhias dalam kondisi berkabung dibolehkan akan tetapi bisa
menjadi haram manakala berhiasnya menggunakan perhiasan yang haram dan
apabila berhiasnya sampai menjadikannya termasuk tabarruj yaitu
menonjolkan perhiasan dan kecantikan di hadapan laki-laki asing (non
mahram).
No comments:
Post a Comment
Berkomentarlah dengan santun